RESUME
FILSAFAT DAKWAH
SASARAN
DAKWAH (MAD’U)
SONIA
SWASTIKA (153.133.039)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2015
SASARAN
DAKWAH (MAD’U)
A. MAD’U SEBAGAI SENTRAL DAKWAH
Dijelaskan
bahwa salah satu sasaran utama yang hendak dicapai melalui dakwah dalam
pemberdayaan masyarakat menuju lahirnya suatau komunitas atau masyarakat yang
disebut oleh al-qur’an dengan predikat, khaira ummah, the best ummah (QS.Ali
Imran/3:110), bukan hanya dari aspek-aspek sosial, seperti ekonomi, pendidikan,
hukum, iptek, dan sosial budaya. Dengan demikian, maka kepentingan dakwah itu
berpusat kepada apa yang dibutuhkan oleh komunitas atau masyarakat (mad’u), dan
bukan kepada apa yang dikehendaki oleh pelaku dakwah (da’i). Tegasnya dakwah
mesti berorientasi kepada kepentingan mad’u (mad’u centred preaching), dan
tidak kepada kepentingan da’i (da’i centred preaching).
Dengan
paradigma baru ini, dai perlu mengerti tentang aspek-aspek yang menjadi
kebutuhan (kepentingan) mad’u dalam suatu komunitas, termasuk tentang tingkat
kemampuan intelektual mereka. Kondisi psikologis, serta problematika yang
melingkupi kehidupan masyarakat di tempat dan zaman mereka berada. Aspek inilah
yang membedakan dakwah dari semata-mata tabligh. Dakwah, selain bermakna
tablig, yaitu kegiatan penyampaian dan penerangan agama, ia juga bermakna
perubahan dan transformasi sosial dan kultural melalui rekayasa (sosial
enginering) yang intens. Sementara perubahan dan transformasi sosial ini tidak
dapat berlangsung, tanpa memerhatikan kondisi objektif sasaran dakwah (mad’u)
dalam semua aspeknya.
Dalam
al-qur’an, keharusan menjadi mad’u sebagai sentral dakwah diisyaratkan sebagai
suatu strategi menjelaskan pesan-pesan agama. Al-qur’an menggunakan redaksi al
lisan, sebagai suatu simbol yang mengacu
kepada aspek kemanusiaan (humanitas) mad’u. Firman Allah SWT :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqß§ wÎ) Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% úÎiüt7ãÏ9 öNçlm; ( ÇÍÈ
Kami tidak mengutus seorang
rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka.
Untuk
memposisikan mad’u sebagai sentral dakwah, maka tiga hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, dakwah perlu memerhatikan kapasitas pemikiran (tingkat
intelektual suatu masyarakat. Dakwah bertujuan menyampaikan pesan agama
seluas-luasnya kepada umat manusia. Sementara di lain pihak, tingkat pemahaman
suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya berbeda. Dengan
tingkat intelektual yang lebih tinggi, masyarakat yang berkebudayaan cenderung
memahami agama secara lebih kompleks. Kedua, dakwah harus memerhatikan kondisi
kejiwaan (suasana psikologis) suatu masyarakat. Kondisi kejiwaan suatu
masyarakat memiliki korelasi erat dengan setiap kejadian atau peristiwa yang
dialami baik yang terkait dengan kondisi alam maupun sosial. Dampak dari suatu
peristiwa tersebut akan terakumulatif dalam tempo yang relatif lama dan
membentuk suasana psikologis tersendiri yang mencirikan kekhasan suatu kelompok
masyarakat. Ketiga, dakwah perlu memerhatikan problematika kekinian yang
didapai oleh suatu masyarakat. Risalah islam diturunkan dengan kepentingan
merespons masalah-masalah umat manusia dan membantu mencarikan jalan keluar
dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berpihak kepada muatan
nilai-nilai moral dan ketuhanan. Karena itu, dalam pelaksanaannya, dakwah
haruslah berwatak komunikatif dan interaktif . komunikatif, berarti bahwa
dakwah harus memahami dan merespons setiap problematika umat. Interaktif,
berarti dakwah harus mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok harus
mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok kepentingan dalam rangka
mencari solusi kreatif dan inovatif dalam memecahkan berbagai problem sosial
yang dihadapi oleh umat, termasuk di dalamnya ikut menciptakan mindset baru dan
seperangkat alat (tools) untuk membawa umat menuju perubahan dan kemajuan yang
diharapkan.
Gagasan
dakwah yang menempatkan mad’u sebagai sentral dakwah, menghendaki strategi
dakwah yang empatik, simpati, dan humanitas. Empati dan simpati dalam dakwah
menghendaki sikap yang mengandaikan dai dalam posisi mad’u. Adapun dakwah
humanis menghendaki pengakuan terhadap sisi kemanusiaan mad’u secara utuh, baik
pemikirannya, kejiwaannya, maupun problematikanya.
B.
HAK-HAK
MAD’U
Dalam teori ilmu sosial
dijelaskan, kelanggengan suatu hubungan natural dalam masyarakat itu terkait
dalam suatu kontrak tak tertulis. Hubungan antarpersonal juga di tentukan oleh
sejauh mana masing-masing pihak mampu menciptakan situasi pergaulan yang akrab
dan hangat. Untuk tujuan itu, segala atribut penghalang yang menjadi jarak
pemisah antara kedua belah pihak harus terlebih dahulu disingkirkan untuk
kemudian dijalin suatu komunikasi terbuka dalam suatu hubungan kesteraan tanpa
unsur hirarkis. Hal demikian ini terbilang amat perlu karena pertimbangan
beberapa hal. Pertama, secara psikologis orang hanya akan mau membuka diri
(ofensif) kepada pihak yang benar-benar ia akan kenal dan ketahui latar
belakangnya. Kedua, ketiadaan jarak antar-hubungan memungkinkan tumbuh nya
selera untuk menjalin keakraban dan kedekatan dalam pergaulan. Ketiga,
kedekatan atau keakraban adalah implikasi logis yang lahir dari sikap empatis
dan simpatik. Di sisi lain, sikap serupa itu hanya mungkin ditumbuhkan dalam
pandangan kesetaraan hubungan yang mampu menempatkan diri pribadi pada posisi
orang lain secara timbal balik.
Terkait dengan
persoalan hak-hak mad’u, maka apa yang dijelaskan melalui teori sosial tentang
keharusan hubungan yang kondusif sebagai syarat keberlangsungan sebuah kontrak
sosial, sangat relevan dengan praktik dakwah nabi dengan membentuk piagam
tertulis madinah yang menjadi asas dalam pembentukan masyarakat sipil melalui
sebuah kontrak sosial yang mengikat semua golongan.
Penjelasan ini akhirnya
memberikan pemahaman bahwa hak pertama yang mesti di ingat terkait dengan
dakwah adalah hak-hak asasi manusia pada umumnya. Pengakuan terhadap hak asasi
ini adalah akses menuju hubungan sosial yang kondusif serta membuka peluang
terciptanya kebebasan dalam menyampaikan dakwah itu sendiri. Dalam perspektif
dakwah, pengakuan hak asasi berarti memberi kebebasan kepada mad’u untuk
menerima atau menolak dakwah sesuai prinsip kebebasan agama yang di ajarkan
oleh islam.
C.
KLASIFIKASI
MAD’U
Setelah pemaparan bahwa
setiap manusia, tanpa terkecuali adalah mad’u, yaitu pihak yang diseru ke jalan
allah, maka perbincangan mengenai klasifikasi mad’u menjadi tidak lepas dari
pengklasifikasian manusia dalam keterkaitannya dengan dakwah. Sebut saja,
dakwah adalah proses menyosialisasikan dan mewujudkan kebenaran, maka
klasifikasi mad’u merupakan sebuah sebuah proses pengidentifikasian perkelompok
manusia dalam menerima kebenaran itu. Secara mendasar klasifikasi mad’u ini
tidak ada hubungannya dengan memetak-metak kelompok ataupun pengkastaan golongan
manusia atas manusia lainnya. Lebih dari itu, pengklasifikasian mad’u memiliki
maksud tersendiri yakni untuk memperoleh pengetahuan tentang karakter-karakter
yang khas dimiliki oleh suatu kelompok mad’u tertentu yang tidak terdapat pada
lainnya. Pengetahuan ini, secara lebih jauh sangat berguna untuk menentukan
kebijakan dakwah tentang bagaimana cara mensikapi dan berinteraksi dengan
masing-masing kelompok kelompok manusia tersebut.
Dalam hubungannya
dengan seruan dakwah, objek dakwah disini di golongkan menurut empat kategori.
Pertama, sikap mad’u terhadap seruan dakwah, kedua, antusiasnya kepada dakwah.
Ketiga, kemampuan dalam memahami dan menangkap pesan dakwah, dan keempat
kelompok mad’u berdasarkan keyakinannya.),
1.
Klasifikasi
Mad’u Menurut Sikapnya Terhadap Dakwah
Pakar dakwah Abdul
Karim Zaidan dalam buku Ushul al Da’wah, mengelompokkan manusia dalam empat
kategori berdasarkan sikapnya terhadap dakwah. Empat kategori yang dimaksud
secara berturut-turut adalah al-mala’ (pemuka masyarakat), jumhur al-Nas
(mayoritas manusia), munafiqun (orang-orang munafik), dan al-Usat (para
pendurhaka). Al-mala’ sebagai suatu terminologi yang dipinjam dari bahasa
al-qur’an, adalah kelompok manusia yang memegang wewenang atas kendali
masyarakat banyak (jumhur al-nas). Mereka itu terdiri dari kelompok elite
masyarakat yang memiliki kekuasaan penuh atas orang banyak. Adapun munafiqun
adalah tipe kelompok oportunis yang menyembunyikan kekufuran di balik
keislamannya. Menurut Zaidan, mereka itu biasanya ditemukan dalam situasi
ketika kebenaran telah menjadi opini publik dan keimanan telah menjadi
mayoritas. Adapun kelompok al-Usat, adalah kategori orang-orang yang masih
bimbang dalam menerima kebenaran. Karena itu keimanan mereka yang tipis dinilai
tidak cukup kuat untuk menahannya dari perbuatan-perbuatan maksiat, sekalipun
telah menyatakan keislamannya.
a.
Al-Mala’
Dalam
al-qur’an, terminolgi al-mala’ digunakan untuk arti kelompok sosial yang
berstatus sebagai pemuka masyarakat (asyraf al-qaum), pemimpin masyarakat
(ru’usahum), atau yang memiliki wewenang atas masyarakat (sadatuhum). Pakar
al-qur’an al-Ashafahany menerjemahkan istilah al-mala sebagai suatu kelompok
orang yang memiliki pengaruh atas pandangan umum baik lantaran kewibawaannya
maupun kebesaran namanya.
Dari
yang kita ketahui dari karakteristik kelompok mad’u ini dalam kaitan sikapnya
terhadap kebenaran dakwah, diperoleh pemahaman sebagai berikut:
Pertama,
kelompok al-mala adalah kaum eksekutif masyarakat yang memiliki pengaruh besar,
bilamana mereka beriman, bagi kesuksesan dakwah. Hal demikian, karena kemampuan
mereka untuk mengakomodasi massa dan pengaruhnya dalam membentuk opin-opini
publik.
Kedua,
karena posisinya yang istimewa, kelompok mad’u ini cenderung subjektif dan
dipengaruhi oleh rasa gengsi yang teramat tinggi. Dan karakter seperti itu,
bisa dimengerti jika mereka memiliki kecendrungan untuk antipati terhadap
kebenaran yang disampaikan oleh dai, apalagi jika yang menyampaikan kebenenaran
itu adalah orang yang dipandang tidak memiliki status sosial yang tinggi dalam
masyarakat.
Ketiga,
kendatipun begitu, kelompok mad’u ini merupakan aset penting dalam dakwah.
Demikian itu, karena kelompok ini merupakan panutan dan sumber rujukan orang
banyak. Atas dasar hal ini, maka kekuatan dan pengaruh mereka bisa digunakan
untuk memperluas jangkauan dakwah.
Keempat,
sikap represif, kooperatif atau setengah hati kelompok al-mala’, sangat terkait
erat dengan kepentingan subjektif dan hubungan mereka dengan dai.
b.
Jumhur
Al-Nas
Dilihat
dari segi bahasa, jumhur al-nas, berarti kelompok mayoritas merupakan kelompok
terbesar dalam masyarakat. Mereka umumnya terdiri dari kaum lemah yang
merupakan lapisan terbesar dalam suatu masyarakat. Dalam bahasa indonesia
terjemahan jumhur al-nas, setara dengan rakyat jelata. Dari tinjauan historis,
mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang
paling simpatik dan cepat menerima seruan dakwah para rasul. Di samping potensi
positif dari mayoritas manusia yang ditengarai juga mampu menghambat akselerasi
dakwah. Seperti diketahui mayoritas manusia adalah kaum lemah, baik dalam arti
fisik maupun intelektual. Secara psikis, mereka juga dikenal sebagai kelompok
yang merindukan sosok “ratu adil” atau pahlawan yang bersimpatik kepada nasib
mereka dan bersedia memperjuangkan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Dalam kaitannya dengan dakwah, ketidaksadaran terhadap potensi negati8f mereka
itu, bisa menjadi bumerang yang dapat menghambat dan memamndulkan akselerasi
dakwah.
c.
Al-Munafiqun
Ada
sensitifitas ketika menjelaskan istilah kelompok mad’u yang satu ini.
Permaslaaham pokoknya adalah ketika kita didesak untuk mendeskripsikan kelompok
mad’u ini agar dapat menentukan sikap dalam menyampaikan dakwah untuk memberi
label munafik pada suatu objek atau kelompok. Ketika hal tersebut terpaksa
dilakukan, kita dihadapkan kepada sejumlah konsekuensi-konsekuensi seperti
misalnya justifikasi keyakinan bahwa orang munafik itu berada di neraka yang
paling bawah (fi darki al-asfal min al-nar).
Dari
persepektif al-qur’an, pertama-tama yang perlu kita pahami adalah fakta bahwa
pembicaraan tentang orang-orang munafik dan kemunafikan tidak lepas dari
konteks ayat-ayat madaniah. Bahkan
terkait dengan ini, dalam al-qur’an terdapat satu surat yang berbicara secara
spesifik tentang orang-orang munafik, yaitu surah al-munafiqun, yang menurut
konsensus pakar tafsir diturunkan pada periode Madinah. Dalam surat tersebut,
al-qur’an mendeskripsikan munafiqun sebagai kelompok orang yang secara terpaksa
eksplisit mengakui kerasulan nabi muhammad, namun pengakuan dilakukan secara
terpaksa, yakni sebagai tameng demi menjaga harta dan nyawa mereka dari
ketentuan kaum muslimin.
Meskipun
singkat, pemaparan karakteristik munafiqun dalam surat tersebut kiranya dapat
mewakili pandangan dalam al-qur’an. Menurut Ibn Asyur, karena isinya mewakili
penyebutan tingkah laku dan karakter para munafik, maka surat itu dinamakan
demikian.
Di
awal perkembangan dakwah islam, sejarah menyebut nama Abdullah Ibn Ubay Ibn
Salul sebagai representasi dari kelompok munafik. Menurut keterangan sarjana
sejarah Husein Haekal, ia adalah orang Anshar yang berkomplot baik dengan
pengikut Muhammad (Muslimun) maupun kelompok Yahudi.
Dalam
perkembangan sejarah islam pasca Nabi wafat, tidak lagi terdengar kasus serupa
Abdullah Ibn Ubay. Pasalnya, orang-orang dahulu menyembunyikan kekufuran di
balik pengakuan islamnya, kini telah berani terang-terangan menampakkan sikap
aslinya yang dahulu tidak kelihatan. Jadi pada masa pasca nabi, kemunafikan itu
telah menunjukkan jati diri yang sebenarnya sedemikian rupa, sehingga
orang-orang yang serupa Ibn Ubay kini tidak perlu lagi ketakutan untuk
diketahui identitas aslinya. Pada keadaan serupa ini, kemunafikan seperti di
masa nabi boleh dibilang tidak ada lagi, lebih dari itu telah menjadi kasus
baru sebagai suatu kekufuran setelah beriman (murtad). Hal demikian dapat
dilihat dalam sejarah perkembangan dakwah islam masa Abu Bakar, yaitu ketika
sebagian orang-orang beriman menolak untuk membayar zakat melalui baitulmal
dengan alasan ketentuan itu tidak berlaku lagi setelah Rasulullah.
Dari
apa yang dipaparkan di atas, kita dapati kesan bahwa fakta kemunculan kelompok
munafik dilatarbelakangi oleh motif politis yang kemudian berkembang menjadi
persoalan agama. Hal ini karena di antara risalah yang di bawa Rasulullah dan
politik yang di jalankannya sebagai alat pendukung kesuksesan dakwah, sangatlah
erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya, sehingga untuk
menguasai Rasulullah dan mencapai tujuannya, orang-orang munafik merasa perlu
(pura-pura) beriman dan mengikuti risalah islam walaupun dengan sangat
terpaksa.
d.
Kelompok
Pelaku Maksiat (al-Usat)
Kata
Al-Usat merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ‘asin, berarti pendurhaka,
adalah orang yang suka melakukan dosa dan maksiat. Golongan mad’u yang satu
ini, menurut Abdul Karim Zaidan, adalah mereka yang secara batin masih memiliki
pijakan yang kuat dari agama, namun secara behavioral menunjukkan indikasi yang
sebaliknya. Maksudnya mereka adalah orang-orang yang di akui memiliki komitmen
terhadap keyakinan fundamental islam, namun keyakinan ini tidak mampu
diimplementasikan dalam realitas kehidupan. Lebih dari itu, bahkan mereka kerap
kali menunjukkan perilaku yang berlawanan dengan apa yang di yakininya itu.
2.
Pengelompokan
Mad’u Berdasarkan Antusiasnya Kepada Dakwah.
Mengenai
sikap mad’u terhadap seruan dakwah, al-qur’an menyebutkan tiga kelompok mad’u,
yaitu kelompok yang bersegera dalam menerima kebenaran (al-asabiquna bi
al-khairat), kelompok pertengahan (muqthasid), dan kelompok yang mendzalimi
diri sendiri (zhalim linafsih). Kelompok Mad’u yang pertama, menurut pakar
tafsir kenamaan Wahbah al-Zuhaili yaitu golongan mad’u yang cenderung antusias
pada kebaikan dan tanggap terhadap seruan-seruan dakwah baik yang sunah apalagi
yang wajib. Kelompok mad’u yang kedua, lanjut Zuhayli yaitu golongan
pertengahan. Dan adapun kelompok yang terakhir, adalah kelompok yang senang
melampaui batasan-batasan agama, cenderung mengabaikan (al-mufrith) kewajiban
agama dan kerap melakukan larangan-larangan agama.
3.
Pengelompokan
Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap Pesan Dakwah
Adapun
pengelompokan mad’u berdasarkan kemampuannya dalam menangkap pesan dakwah,
dalam hal ini terdapat golongan orang yang sering bersinggungan dengan
kebenaran di karenakan pengetahuannya yang mendalam. Kelompok ini terdiri dari
para sarjana, pemikir, dan ilmuwan.
Dalam
kategori ini, mad’u dikelompokkan secara hirerkis dari mulai kelompok elite
hingga level bawah. Demikian itu, karena kemampuan seseorang untuk menangkap
pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya memahami agama serta hakikatnya.
Melalui cara pandang ini, filsuf kenamaan Ibn Rusyd mengkategorikan manusia
dalam tiga kelompok, yaitu ahl al-burhan, ahl al jidal, dan ahl al kitab.
4.
Kategori
Mad’u Menurut Keyakinannya
Dakwah
diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya
kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam
keyakinan manusia di muka bumi, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik
orang ke jalan Tuhan. Untuk itu tentu saja dakwah dituntut untuk menyiapkan
strategi yang berbeda ketika berhadapan dengan para kelompok mad’u yang
beragama islam dan mad’u yang tidak beragama islam. Tiga kategori mad’u yang
telah dituliskan, sebetulnya dimaksudkan untuk memilah-milah tipe mad’u yang
masuk dalam kelompok mad’u muslim. Dalam konteks ini, secara singkat akan
dipaparkan mengenai kelompok mad’u yang kedua, yaitu kelompok non muslim.
Dalam
al-qur’an, nonmuslim dalam artian mereka yang tidak mengimani Muhammad sebagai
Rasul, juga di golongkan dalam banyak kelompok, misalnya ahl al-kitab,
musyrikun, dan kafirun. Sejauh pandangan al-qur’an tentang kelompok ahl
al-kitab adalah lebih positif ketimbang pandangan al-qur’an tentang musyrikun.
Penilaian ini, secara objektif, juga disertai oleh kritik dan kecaman al-qur’an
terhadap sikap-sikap tertentu yang dinilai telah menyimpang dari pandangan
hidup yang benar.
Terkait
dengan dakwah, pemaparan mengenai ahl al-kitab yang kiranya sebagai representatif
dari kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak
dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek dakwah, di satu sisi kelompok
mad’u ini boleh dibilang secara instrinsik telah memiliki sikap “islam”
(berketuhanan Yang Maha Esa) seperti tersurat dalam ajaran kitab suci mereka,
di sisi yang lain mereka seperti pemaparan al-qur’an tidak lepas dari
penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang benar. Gambaran ini yang akan
menjadi dasar pijakan dalam metode dakwah terhadap ahl al kitab.
Terakhir,
dakwah juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan sekelompok manusia yang
gemar mengingkari kebenaran atau malah berusaha melawan kebenaran itu, sukar di
ajak berdamai atau bekerja dan melulu mengingkari kesepakatan. Mereka
senantiasa menghalangi kebebasan orang untuk berdakwah dan berusaha
menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran. Kelompok mad’u inilah yang
disebut sebagai kelompok kafir (harbi)
yang dapat eksis dalam setiap kelompok/penganut agama. Terhadap mereka
itu, dai tidak di anjurkan untuk menunjukkan sikap bersahabat dalam
menyampaikan kebenaran. Lebih dari itu, adalah sikap tegas (al-ghilz) dan tegas
(tasydid), bukan lagi tabligh dan pertemanan (al-rifq).
D.
MAD’U
DAN PILIHAN METODE
Seperti
yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya,
klasifikasi mad’u dilakukan berkenaan dengan karakteristik masing-masing
mad’u agar dapat dipilih metode yang tepat dalam proses dakwah. Metode dakwah
bersifat dinamis dan konsektual, sesuai dengan karakter objek yang sedang
dihadapi. Dalam perspektif ini, tak ada pemutlakan terhadap suatu metode atau
pendekatan dakwah. Kekuatan pilihan suatu metode sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal di luar metode itu sendiri, seperti materi yang hendak
di sajikan, dan terlebih lagi, kepada siapa dakwah itu dilakukan (keberadaan
mad’u). Prinsip-prinsip metodologis itu ada empat, yaitu arif bijaksana (bi
al-hikmah), nasihat yang baik (al-mau izhah al-hasanah), dialog dengan cara
terbaik (al-jadal al-husna), dan pembalasan berimbang (iqabah bi al-mistli).
Perhatikan firman Allah
dibawah ini:
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
÷bÎ)ur óOçGö6s%%tæ (#qç7Ï%$yèsù È@÷VÏJÎ/ $tB OçFö6Ï%qãã ¾ÏmÎ/ ( ûÈõs9ur ÷Län÷y9|¹ uqßgs9 ×öyz úïÎÉ9»¢Á=Ïj9 ÇÊËÏÈ
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
126.
dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu[846]. akan tetapi jika kamu bersabar,
Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
1. Metode Hikmah
Dari segi pemaknaan lesikal (etimologi),
hikmah digunakan untuk menunjukkan kepada arti-arti seperti keadilan, ilmu,
kearifan, kenabian, dan juga al-qur’an. Ada juga yang menerjemahkan hikmah
sebagai pemahaman komprehensif al-qur’an dari segi nasikh mansukh-nya,
muhkam-mustasyabbihnya, urutan turunnya ayat, hingga hukum halal dan haramnya.
Hikmah juga biasa ditafsirkan sebagai integrasi antar ucapan dan perbuatan,
ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, takut kepada allah dan bersikap hati-hati
(wara’) dalam agama, ilmu beserta pengamalannya, hingga menjawab pertanyaan
dengan cepat dan benar. Singkatnya dari terminologi hikmah merujuk kepada
pengertian ketepatan berkata dan bertindak dan memperlakukan sesuatu secara
bijaksana (al-ishabat fi al aqwal wa al af’al-wa wadla’a kulla syay’ fi
maudli’ihi).
Hikmah sebagai induk dari seluruh
pendekatan dakwah, mencakup juga pendekatan dengan perkataan yang bijak (hikmah
al-qaul). Terkait dengan ini, al-Qhatany membagi kaum muslim dalam dua
kelompok. Pertama, mereka yang bersikap cepat-tanggap menerima kebenaran dakwah
atau mereka yang pernah disebut oleh Wahbah Zuhayli dengan istilah al-sabiquna
fi al khairat. Kedua, yaitu kelompok mad’u yang pengertiannya dicakup melalui
terminologi al-usat dalam pengkategorian Abdul Karim Zaidan. Menurut
al-Qahtany, pendekatan dakwah yang tepat untuk kelompok mad’u ini adalah salah
satu dari tiga bentuk perkataan bijak berikut ini. Pertama, al-mau’izhah
al-hasanah, kedua al-targhib wa al tarhib, ketiga, perumpamaan-perumpamaan
(hikmat al-qaul al-tashwiriyyah).
2. Mau ‘izhah Hasanah
Pendekatan dakwah melalui mau ‘izhah
hasanah dilakukan dengan perintah dan larangan disertai dengan unsur motivasi
(targhib) dan ancaman (tarhib) yang diutarakan lewat perkataan yang dapat
melembutkan hati, menggugah jiwa, dan mencairkan segala bentuk kebekuan hati,
serta dapat menguatkan keimanan dan petunjuk yang mencerahkan. Pendekatan
dakwah ini secara praktikal terdiri dari dua bentuk, pengajaran (ta’lim) dan
pembinaan (ta’dib). Dakwah mau’izhah Hasanah
dalam bentuk ta’lim dilakukan dengan menjelaskan keyakinan tauhid
disertai pengamalan implikasinya dari hukum syariat yang lima, wajib, haram,
sunah, makruh dan mubah dengan penekanan tertentu sesuai dengan kondisi mad’u
dan memperingatkan mad’u dari bersikap gemampang (al-tahawun) terhadap salah
satunya.
Adapun pendekatan dakwah mau’izhah
hasanah melalui pembinaan yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika
(budi pekerti mulia). Selanjutnya dai yang menghendaki mau’izhah hasanah yang
tepat sasaran, kata al-Qhatany, harus memerhatikan lima hal ini. Pertama,
memerhatikan dengan seksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan
konteks waktu dan tempat. Kedua, mengukur skala prioritas kemungkaran yang
mesti lebih dahulu ditangani sesuai derajat kerusakannya di masyarakat. Ketiga,
memikirkan efek yang ditimbulkan lebih jauh oleh kemungkaran ini dari segi
psikis, sosial, kesehatan hingga finansial. Keempat, menghadirkan argumentasi
agama terkait dengan efek kemungkaran tersebut, bisa dari ayat al-Qur’an, hadis
nabi, perkataan sahabat atau nasihat ulama. Kelima, jika mau nasihat-nasihat
ini dapat didokumentasikan dalam bentuk tulisan bertema yang mengupas bahaya
suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta motivasi mereka untuk bertobat.
Adapun jika mau’izhah hasanah tersebut
dimaksudkan untuk memotivasi amal sholeh, maka langkah-langkahnya berikut ini.
Pertama, merenungkan secara mendalam keistimewaan dan efek kebaikan amalan
tersebut dalam kehidupan sosial. Kedua, menghadirkan argumentasi yang berisi
motivasi amal shaleh tersebut. Ketiga, jika mau dibuat dokumentasi bertema
seperti di atas.
3. Debat yang terpuji (al-Jadal al-Husna)
Hikmah sebagai induk dari metode dakwah
juga meliputi pendekatan dakwah melalui debat yang terpuji (al-jidal bi al lati
hiya ahsan). Pendekatan dakwah ini dilakukan dengan dialog yang berbasis budi
pekerti yang luhur, tutur kalam yang lembut, serta mengarah kepada kebenaran
dengan disertai argumentasi demonstratif rasional dan tekstual sekaligus, dengan
maksud menolak argumen batil yang dipakai lawan dialog. Debat yang terpuji
dalam dakwah tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri.
Termasuk dalam kelompok ini adalah
masing-masing nonmuslim yang bersahabat. Mereka bisa didekati dengan metode
dakwah ini. Dialog terpuji ini dengan mereka pertama kali dimaksudkan bukan
untuk mengajak mereka beriman- dalam arti mengimani kerasulan Nabi Muhammad.
Kategori mad’u munafik yang diperlakukan sebagai muslim juga didekati melalui
metode dakwah dialog terpuji. Metode ini dimaksudkan untuk mempertegas
kebenaran yang masih mereka sangsikan, mengikis kepura-puraan beragama, dan
merobohkan segala bentuk formalisasi beragama. Metode ini juga dapat
mempertegas warna keimanan mereka, apakah lebih dekat untuk beriman atau akut
dalam kekafiran yang membuat kaum muslim dapat jelas bersikap dan memperlakukan
mereka, apakah harus lunak atau keras (ghilzah). Dengan begitu, diharapkan
mereka tidak lagi menjadi musuh dalam selimut. Dalam bentuk sikap moral
gejala-gejala kemunafikan yang bisa tumbuh dalam jiwa siapa saja dari kaum
beriman juga mesti dipangkas dengan dialog yang baik atau mau’izhah hasanah
tergantung dari tingkat pemahamannya.
4. Tindakan Balasan Setimpal (Iqabah bi al-Mitsl)
Terakhir, dakwah juga mengakui dan
melegalkan sikap keras dan tegas kepada kelompok mad’u kafir, yaitu mereka yang gemar menutup-nutupi kebenaran,
tidak kooperatif, dan tidak mau bersahabat, menghalangi dakwah dan berniat
menghancurkan dan memusuhi agama, baik dari kelompok munafik maupun nonmuslim. Pendekatan
dakwah semacam ini dinamai al-iqab bi al-mitsl yang terjemahannya “dakwah
dengan balasan setimpal”. Dalam pemetaan metode dakwah, pendekatan balasan
setimpal berada masih dalam lingkup dakwah bi al-hikmah yang diistilahkan
dengan hikmat al-quwwah atau jihad qitaly (jihad perang). Maksud yang ingin
dicapai dengan pendekatan dakwah ini adalah untuk menolak fitnah terhadap
dakwah islam menghadirkan kebebasan beragama dan menumpas kesewenang-wenangan
(zulmat al-tughyan). Sebagai pendekatan dakwah dengan basis kekerasan atau
ketegasan, dakwah iqab bi al-mitsl dalam praktiknya tidak menghendaki perlakuan
yang serampangan dengan hawa nafsu, lebih dari itu diputuskan di atas hikmah
dan moral islami. Karena itu, dalam praktiknya pendekatan dakwah ini dibatasi
dengan banyaknya persyaratan yang ketat, bahkan menurut ketentuan al-qur’an
mesti dijadikan alternatif terakhir dan bila perlu, memberi amnesti itu lebih
baik daripada pembalasan. Demikian itu karena islam dalam watak dasar nya
adalah agama yang menghendaki kedamaian dan senantiasa mengajak kepada
kedamaian.
Namun demikian, pemberian amnesti itu
juga bukan tanpa perhitungan, karena jika tidak, maka bisa jadi dakwah islam
malah akan dilecehkan atau diremehkan. Untuk itu, menurut Sayyid Quthub,
amnesti hanya diberikan dalam dua kasus saja, pertama, ketika kondisi umat
islam memiliki kekuatan untuk membalas sehingga amnesti akan memberikan kesan
menonjol atas doktrin rahmatan lil alamin. Kedua, ketika kejahatan musuh
bersifat individual atau orang perorang dan bukannya memfitnah akidah islam.
Apabila yang terakhir ini yang terjadi, maka pilihannya bukan amnesti,
melainkan pembelaan dengan segenap kekuatan yang dimiliki.
Hikmat al-quwwah sebagai pendekatan dakwah menurut
al-Qahtany juga berlaku terhadap kaum muslim dalam wujud hadd dan ta’zir.
Penggunaan pendekatan dakwah ini dimaksudkan untuk memperoleh stabilitas sosial
dengan bertindak tegas terhadap setiap pelanggar hukum yang telah ditetapkan
bersama. Prinsip hukuman dalam berdakwah memang sekali perlu digunakan demi
menciptakan masyarakat beradab yang sadar hukum, sebab bagaimanapun juga dakwah
dihadirkan untuk memberikan kebahagiaan hidup bermasyarakat yang hanya mungkin
diwujudkan melalui keamanan dan ketertiban sosial berdasarkan hukum yang
disepakati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar