Selasa, 07 Juli 2015

Resume Filsafat Dakwah "Sasaran Dakwah (Mad'u)"



RESUME FILSAFAT DAKWAH
SASARAN DAKWAH (MAD’U)



SONIA SWASTIKA (153.133.039)




PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2015



SASARAN DAKWAH (MAD’U)

A.    MAD’U SEBAGAI  SENTRAL DAKWAH
Dijelaskan bahwa salah satu sasaran utama yang hendak dicapai melalui dakwah dalam pemberdayaan masyarakat menuju lahirnya suatau komunitas atau masyarakat yang disebut oleh al-qur’an dengan predikat, khaira ummah, the best ummah (QS.Ali Imran/3:110), bukan hanya dari aspek-aspek sosial, seperti ekonomi, pendidikan, hukum, iptek, dan sosial budaya. Dengan demikian, maka kepentingan dakwah itu berpusat kepada apa yang dibutuhkan oleh komunitas atau masyarakat (mad’u), dan bukan kepada apa yang dikehendaki oleh pelaku dakwah (da’i). Tegasnya dakwah mesti berorientasi kepada kepentingan mad’u (mad’u centred preaching), dan tidak kepada kepentingan da’i (da’i centred preaching).
Dengan paradigma baru ini, dai perlu mengerti tentang aspek-aspek yang menjadi kebutuhan (kepentingan) mad’u dalam suatu komunitas, termasuk tentang tingkat kemampuan intelektual mereka. Kondisi psikologis, serta problematika yang melingkupi kehidupan masyarakat di tempat dan zaman mereka berada. Aspek inilah yang membedakan dakwah dari semata-mata tabligh. Dakwah, selain bermakna tablig, yaitu kegiatan penyampaian dan penerangan agama, ia juga bermakna perubahan dan transformasi sosial dan kultural melalui rekayasa (sosial enginering) yang intens. Sementara perubahan dan transformasi sosial ini tidak dapat berlangsung, tanpa memerhatikan kondisi objektif sasaran dakwah (mad’u) dalam semua aspeknya.
Dalam al-qur’an, keharusan menjadi mad’u sebagai sentral dakwah diisyaratkan sebagai suatu strategi menjelaskan pesan-pesan agama. Al-qur’an menggunakan redaksi al lisan, sebagai suatu simbol  yang mengacu kepada aspek kemanusiaan (humanitas) mad’u. Firman Allah SWT :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqß§ žwÎ) Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% šúÎiüt7ãŠÏ9 öNçlm; ( ÇÍÈ
 Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Untuk memposisikan mad’u sebagai sentral dakwah, maka tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dakwah perlu memerhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual suatu masyarakat. Dakwah bertujuan menyampaikan pesan agama seluas-luasnya kepada umat manusia. Sementara di lain pihak, tingkat pemahaman suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya berbeda. Dengan tingkat intelektual yang lebih tinggi, masyarakat yang berkebudayaan cenderung memahami agama secara lebih kompleks. Kedua, dakwah harus memerhatikan kondisi kejiwaan (suasana psikologis) suatu masyarakat. Kondisi kejiwaan suatu masyarakat memiliki korelasi erat dengan setiap kejadian atau peristiwa yang dialami baik yang terkait dengan kondisi alam maupun sosial. Dampak dari suatu peristiwa tersebut akan terakumulatif dalam tempo yang relatif lama dan membentuk suasana psikologis tersendiri yang mencirikan kekhasan suatu kelompok masyarakat. Ketiga, dakwah perlu memerhatikan problematika kekinian yang didapai oleh suatu masyarakat. Risalah islam diturunkan dengan kepentingan merespons masalah-masalah umat manusia dan membantu mencarikan jalan keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berpihak kepada muatan nilai-nilai moral dan ketuhanan. Karena itu, dalam pelaksanaannya, dakwah haruslah berwatak komunikatif dan interaktif . komunikatif, berarti bahwa dakwah harus memahami dan merespons setiap problematika umat. Interaktif, berarti dakwah harus mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok harus mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok kepentingan dalam rangka mencari solusi kreatif dan inovatif dalam memecahkan berbagai problem sosial yang dihadapi oleh umat, termasuk di dalamnya ikut menciptakan mindset baru dan seperangkat alat (tools) untuk membawa umat menuju perubahan dan kemajuan yang diharapkan.
Gagasan dakwah yang menempatkan mad’u sebagai sentral dakwah, menghendaki strategi dakwah yang empatik, simpati, dan humanitas. Empati dan simpati dalam dakwah menghendaki sikap yang mengandaikan dai dalam posisi mad’u. Adapun dakwah humanis menghendaki pengakuan terhadap sisi kemanusiaan mad’u secara utuh, baik pemikirannya, kejiwaannya, maupun problematikanya.
B.     HAK-HAK MAD’U
Dalam teori ilmu sosial dijelaskan, kelanggengan suatu hubungan natural dalam masyarakat itu terkait dalam suatu kontrak tak tertulis. Hubungan antarpersonal juga di tentukan oleh sejauh mana masing-masing pihak mampu menciptakan situasi pergaulan yang akrab dan hangat. Untuk tujuan itu, segala atribut penghalang yang menjadi jarak pemisah antara kedua belah pihak harus terlebih dahulu disingkirkan untuk kemudian dijalin suatu komunikasi terbuka dalam suatu hubungan kesteraan tanpa unsur hirarkis. Hal demikian ini terbilang amat perlu karena pertimbangan beberapa hal. Pertama, secara psikologis orang hanya akan mau membuka diri (ofensif) kepada pihak yang benar-benar ia akan kenal dan ketahui latar belakangnya. Kedua, ketiadaan jarak antar-hubungan memungkinkan tumbuh nya selera untuk menjalin keakraban dan kedekatan dalam pergaulan. Ketiga, kedekatan atau keakraban adalah implikasi logis yang lahir dari sikap empatis dan simpatik. Di sisi lain, sikap serupa itu hanya mungkin ditumbuhkan dalam pandangan kesetaraan hubungan yang mampu menempatkan diri pribadi pada posisi orang lain secara timbal balik.
Terkait dengan persoalan hak-hak mad’u, maka apa yang dijelaskan melalui teori sosial tentang keharusan hubungan yang kondusif sebagai syarat keberlangsungan sebuah kontrak sosial, sangat relevan dengan praktik dakwah nabi dengan membentuk piagam tertulis madinah yang menjadi asas dalam pembentukan masyarakat sipil melalui sebuah kontrak sosial yang mengikat semua golongan.
Penjelasan ini akhirnya memberikan pemahaman bahwa hak pertama yang mesti di ingat terkait dengan dakwah adalah hak-hak asasi manusia pada umumnya. Pengakuan terhadap hak asasi ini adalah akses menuju hubungan sosial yang kondusif serta membuka peluang terciptanya kebebasan dalam menyampaikan dakwah itu sendiri. Dalam perspektif dakwah, pengakuan hak asasi berarti memberi kebebasan kepada mad’u untuk menerima atau menolak dakwah sesuai prinsip kebebasan agama yang di ajarkan oleh islam.
C.    KLASIFIKASI MAD’U
Setelah pemaparan bahwa setiap manusia, tanpa terkecuali adalah mad’u, yaitu pihak yang diseru ke jalan allah, maka perbincangan mengenai klasifikasi mad’u menjadi tidak lepas dari pengklasifikasian manusia dalam keterkaitannya dengan dakwah. Sebut saja, dakwah adalah proses menyosialisasikan dan mewujudkan kebenaran, maka klasifikasi mad’u merupakan sebuah sebuah proses pengidentifikasian perkelompok manusia dalam menerima kebenaran itu. Secara mendasar klasifikasi mad’u ini tidak ada hubungannya dengan memetak-metak kelompok ataupun pengkastaan golongan manusia atas manusia lainnya. Lebih dari itu, pengklasifikasian mad’u memiliki maksud tersendiri yakni untuk memperoleh pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu kelompok mad’u tertentu yang tidak terdapat pada lainnya. Pengetahuan ini, secara lebih jauh sangat berguna untuk menentukan kebijakan dakwah tentang bagaimana cara mensikapi dan berinteraksi dengan masing-masing kelompok kelompok manusia tersebut.
Dalam hubungannya dengan seruan dakwah, objek dakwah disini di golongkan menurut empat kategori. Pertama, sikap mad’u terhadap seruan dakwah, kedua, antusiasnya kepada dakwah. Ketiga, kemampuan dalam memahami dan menangkap pesan dakwah, dan keempat kelompok mad’u berdasarkan keyakinannya.),
1.      Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya Terhadap Dakwah
Pakar dakwah Abdul Karim Zaidan dalam buku Ushul al Da’wah, mengelompokkan manusia dalam empat kategori berdasarkan sikapnya terhadap dakwah. Empat kategori yang dimaksud secara berturut-turut adalah al-mala’ (pemuka masyarakat), jumhur al-Nas (mayoritas manusia), munafiqun (orang-orang munafik), dan al-Usat (para pendurhaka). Al-mala’ sebagai suatu terminologi yang dipinjam dari bahasa al-qur’an, adalah kelompok manusia yang memegang wewenang atas kendali masyarakat banyak (jumhur al-nas). Mereka itu terdiri dari kelompok elite masyarakat yang memiliki kekuasaan penuh atas orang banyak. Adapun munafiqun adalah tipe kelompok oportunis yang menyembunyikan kekufuran di balik keislamannya. Menurut Zaidan, mereka itu biasanya ditemukan dalam situasi ketika kebenaran telah menjadi opini publik dan keimanan telah menjadi mayoritas. Adapun kelompok al-Usat, adalah kategori orang-orang yang masih bimbang dalam menerima kebenaran. Karena itu keimanan mereka yang tipis dinilai tidak cukup kuat untuk menahannya dari perbuatan-perbuatan maksiat, sekalipun telah menyatakan keislamannya.
a.      Al-Mala’
Dalam al-qur’an, terminolgi al-mala’ digunakan untuk arti kelompok sosial yang berstatus sebagai pemuka masyarakat (asyraf al-qaum), pemimpin masyarakat (ru’usahum), atau yang memiliki wewenang atas masyarakat (sadatuhum). Pakar al-qur’an al-Ashafahany menerjemahkan istilah al-mala sebagai suatu kelompok orang yang memiliki pengaruh atas pandangan umum baik lantaran kewibawaannya maupun kebesaran namanya.
Dari yang kita ketahui dari karakteristik kelompok mad’u ini dalam kaitan sikapnya terhadap kebenaran dakwah, diperoleh pemahaman sebagai berikut:
Pertama, kelompok al-mala adalah kaum eksekutif masyarakat yang memiliki pengaruh besar, bilamana mereka beriman, bagi kesuksesan dakwah. Hal demikian, karena kemampuan mereka untuk mengakomodasi massa dan pengaruhnya dalam membentuk opin-opini publik.
Kedua, karena posisinya yang istimewa, kelompok mad’u ini cenderung subjektif dan dipengaruhi oleh rasa gengsi yang teramat tinggi. Dan karakter seperti itu, bisa dimengerti jika mereka memiliki kecendrungan untuk antipati terhadap kebenaran yang disampaikan oleh dai, apalagi jika yang menyampaikan kebenenaran itu adalah orang yang dipandang tidak memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat.
Ketiga, kendatipun begitu, kelompok mad’u ini merupakan aset penting dalam dakwah. Demikian itu, karena kelompok ini merupakan panutan dan sumber rujukan orang banyak. Atas dasar hal ini, maka kekuatan dan pengaruh mereka bisa digunakan untuk memperluas jangkauan dakwah.
Keempat, sikap represif, kooperatif atau setengah hati kelompok al-mala’, sangat terkait erat dengan kepentingan subjektif dan hubungan mereka dengan dai.
b.      Jumhur Al-Nas
Dilihat dari segi bahasa, jumhur al-nas, berarti kelompok mayoritas merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat. Mereka umumnya terdiri dari kaum lemah yang merupakan lapisan terbesar dalam suatu masyarakat. Dalam bahasa indonesia terjemahan jumhur al-nas, setara dengan rakyat jelata. Dari tinjauan historis, mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang paling simpatik dan cepat menerima seruan dakwah para rasul. Di samping potensi positif dari mayoritas manusia yang ditengarai juga mampu menghambat akselerasi dakwah. Seperti diketahui mayoritas manusia adalah kaum lemah, baik dalam arti fisik maupun intelektual. Secara psikis, mereka juga dikenal sebagai kelompok yang merindukan sosok “ratu adil” atau pahlawan yang bersimpatik kepada nasib mereka dan bersedia memperjuangkan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan dakwah, ketidaksadaran terhadap potensi negati8f mereka itu, bisa menjadi bumerang yang dapat menghambat dan memamndulkan akselerasi dakwah.
c.       Al-Munafiqun
Ada sensitifitas ketika menjelaskan istilah kelompok mad’u yang satu ini. Permaslaaham pokoknya adalah ketika kita didesak untuk mendeskripsikan kelompok mad’u ini agar dapat menentukan sikap dalam menyampaikan dakwah untuk memberi label munafik pada suatu objek atau kelompok. Ketika hal tersebut terpaksa dilakukan, kita dihadapkan kepada sejumlah konsekuensi-konsekuensi seperti misalnya justifikasi keyakinan bahwa orang munafik itu berada di neraka yang paling bawah (fi darki al-asfal min al-nar).
Dari persepektif al-qur’an, pertama-tama yang perlu kita pahami adalah fakta bahwa pembicaraan tentang orang-orang munafik dan kemunafikan tidak lepas dari konteks ayat-ayat madaniah.  Bahkan terkait dengan ini, dalam al-qur’an terdapat satu surat yang berbicara secara spesifik tentang orang-orang munafik, yaitu surah al-munafiqun, yang menurut konsensus pakar tafsir diturunkan pada periode Madinah. Dalam surat tersebut, al-qur’an mendeskripsikan munafiqun sebagai kelompok orang yang secara terpaksa eksplisit mengakui kerasulan nabi muhammad, namun pengakuan dilakukan secara terpaksa, yakni sebagai tameng demi menjaga harta dan nyawa mereka dari ketentuan kaum muslimin.
Meskipun singkat, pemaparan karakteristik munafiqun dalam surat tersebut kiranya dapat mewakili pandangan dalam al-qur’an. Menurut Ibn Asyur, karena isinya mewakili penyebutan tingkah laku dan karakter para munafik, maka surat itu dinamakan demikian.
Di awal perkembangan dakwah islam, sejarah menyebut nama Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul sebagai representasi dari kelompok munafik. Menurut keterangan sarjana sejarah Husein Haekal, ia adalah orang Anshar yang berkomplot baik dengan pengikut Muhammad (Muslimun) maupun kelompok Yahudi.
Dalam perkembangan sejarah islam pasca Nabi wafat, tidak lagi terdengar kasus serupa Abdullah Ibn Ubay. Pasalnya, orang-orang dahulu menyembunyikan kekufuran di balik pengakuan islamnya, kini telah berani terang-terangan menampakkan sikap aslinya yang dahulu tidak kelihatan. Jadi pada masa pasca nabi, kemunafikan itu telah menunjukkan jati diri yang sebenarnya sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang serupa Ibn Ubay kini tidak perlu lagi ketakutan untuk diketahui identitas aslinya. Pada keadaan serupa ini, kemunafikan seperti di masa nabi boleh dibilang tidak ada lagi, lebih dari itu telah menjadi kasus baru sebagai suatu kekufuran setelah beriman (murtad). Hal demikian dapat dilihat dalam sejarah perkembangan dakwah islam masa Abu Bakar, yaitu ketika sebagian orang-orang beriman menolak untuk membayar zakat melalui baitulmal dengan alasan ketentuan itu tidak berlaku lagi setelah Rasulullah.
Dari apa yang dipaparkan di atas, kita dapati kesan bahwa fakta kemunculan kelompok munafik dilatarbelakangi oleh motif politis yang kemudian berkembang menjadi persoalan agama. Hal ini karena di antara risalah yang di bawa Rasulullah dan politik yang di jalankannya sebagai alat pendukung kesuksesan dakwah, sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya, sehingga untuk menguasai Rasulullah dan mencapai tujuannya, orang-orang munafik merasa perlu (pura-pura) beriman dan mengikuti risalah islam walaupun dengan sangat terpaksa.
d.      Kelompok Pelaku Maksiat (al-Usat)
Kata Al-Usat merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ‘asin, berarti pendurhaka, adalah orang yang suka melakukan dosa dan maksiat. Golongan mad’u yang satu ini, menurut Abdul Karim Zaidan, adalah mereka yang secara batin masih memiliki pijakan yang kuat dari agama, namun secara behavioral menunjukkan indikasi yang sebaliknya. Maksudnya mereka adalah orang-orang yang di akui memiliki komitmen terhadap keyakinan fundamental islam, namun keyakinan ini tidak mampu diimplementasikan dalam realitas kehidupan. Lebih dari itu, bahkan mereka kerap kali menunjukkan perilaku yang berlawanan dengan apa yang di yakininya itu.


2.      Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Antusiasnya Kepada Dakwah.
Mengenai sikap mad’u terhadap seruan dakwah, al-qur’an menyebutkan tiga kelompok mad’u, yaitu kelompok yang bersegera dalam menerima kebenaran (al-asabiquna bi al-khairat), kelompok pertengahan (muqthasid), dan kelompok yang mendzalimi diri sendiri (zhalim linafsih). Kelompok Mad’u yang pertama, menurut pakar tafsir kenamaan Wahbah al-Zuhaili yaitu golongan mad’u yang cenderung antusias pada kebaikan dan tanggap terhadap seruan-seruan dakwah baik yang sunah apalagi yang wajib. Kelompok mad’u yang kedua, lanjut Zuhayli yaitu golongan pertengahan. Dan adapun kelompok yang terakhir, adalah kelompok yang senang melampaui batasan-batasan agama, cenderung mengabaikan (al-mufrith) kewajiban agama dan kerap melakukan larangan-larangan agama.
3.      Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap Pesan Dakwah
Adapun pengelompokan mad’u berdasarkan kemampuannya dalam menangkap pesan dakwah, dalam hal ini terdapat golongan orang yang sering bersinggungan dengan kebenaran di karenakan pengetahuannya yang mendalam. Kelompok ini terdiri dari para sarjana, pemikir, dan ilmuwan.
Dalam kategori ini, mad’u dikelompokkan secara hirerkis dari mulai kelompok elite hingga level bawah. Demikian itu, karena kemampuan seseorang untuk menangkap pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya memahami agama serta hakikatnya. Melalui cara pandang ini, filsuf kenamaan Ibn Rusyd mengkategorikan manusia dalam tiga kelompok, yaitu ahl al-burhan, ahl al jidal, dan ahl al kitab.
4.      Kategori Mad’u Menurut Keyakinannya
Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia di muka bumi, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik orang ke jalan Tuhan. Untuk itu tentu saja dakwah dituntut untuk menyiapkan strategi yang berbeda ketika berhadapan dengan para kelompok mad’u yang beragama islam dan mad’u yang tidak beragama islam. Tiga kategori mad’u yang telah dituliskan, sebetulnya dimaksudkan untuk memilah-milah tipe mad’u yang masuk dalam kelompok mad’u muslim. Dalam konteks ini, secara singkat akan dipaparkan mengenai kelompok mad’u yang kedua, yaitu kelompok non muslim.
Dalam al-qur’an, nonmuslim dalam artian mereka yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul, juga di golongkan dalam banyak kelompok, misalnya ahl al-kitab, musyrikun, dan kafirun. Sejauh pandangan al-qur’an tentang kelompok ahl al-kitab adalah lebih positif ketimbang pandangan al-qur’an tentang musyrikun. Penilaian ini, secara objektif, juga disertai oleh kritik dan kecaman al-qur’an terhadap sikap-sikap tertentu yang dinilai telah menyimpang dari pandangan hidup yang benar.
Terkait dengan dakwah, pemaparan mengenai ahl al-kitab yang kiranya sebagai representatif dari kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek dakwah, di satu sisi kelompok mad’u ini boleh dibilang secara instrinsik telah memiliki sikap “islam” (berketuhanan Yang Maha Esa) seperti tersurat dalam ajaran kitab suci mereka, di sisi yang lain mereka seperti pemaparan al-qur’an tidak lepas dari penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang benar. Gambaran ini yang akan menjadi dasar pijakan dalam metode dakwah terhadap ahl al kitab.
Terakhir, dakwah juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan sekelompok manusia yang gemar mengingkari kebenaran atau malah berusaha melawan kebenaran itu, sukar di ajak berdamai atau bekerja dan melulu mengingkari kesepakatan. Mereka senantiasa menghalangi kebebasan orang untuk berdakwah dan berusaha menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran. Kelompok mad’u inilah yang disebut sebagai kelompok kafir (harbi)  yang dapat eksis dalam setiap kelompok/penganut agama. Terhadap mereka itu, dai tidak di anjurkan untuk menunjukkan sikap bersahabat dalam menyampaikan kebenaran. Lebih dari itu, adalah sikap tegas (al-ghilz) dan tegas (tasydid), bukan lagi tabligh dan pertemanan (al-rifq).

D.    MAD’U DAN PILIHAN METODE
Seperti yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya,  klasifikasi mad’u dilakukan berkenaan dengan karakteristik masing-masing mad’u agar dapat dipilih metode yang tepat dalam proses dakwah. Metode dakwah bersifat dinamis dan konsektual, sesuai dengan karakter objek yang sedang dihadapi. Dalam perspektif ini, tak ada pemutlakan terhadap suatu metode atau pendekatan dakwah. Kekuatan pilihan suatu metode sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar metode itu sendiri, seperti materi yang hendak di sajikan, dan terlebih lagi, kepada siapa dakwah itu dilakukan (keberadaan mad’u). Prinsip-prinsip metodologis itu ada empat, yaitu arif bijaksana (bi al-hikmah), nasihat yang baik (al-mau izhah al-hasanah), dialog dengan cara terbaik (al-jadal al-husna), dan pembalasan berimbang (iqabah bi al-mistli).
Perhatikan firman Allah dibawah ini:
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
÷bÎ)ur óOçGö6s%%tæ (#qç7Ï%$yèsù È@÷VÏJÎ/ $tB OçFö6Ï%qãã ¾ÏmÎ/ ( ûÈõs9ur ÷Län÷Žy9|¹ uqßgs9 ׎öyz šúïÎŽÉ9»¢Á=Ïj9 ÇÊËÏÈ  

125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
126. dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu[846]. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
1.      Metode Hikmah
Dari segi pemaknaan lesikal (etimologi), hikmah digunakan untuk menunjukkan kepada arti-arti seperti keadilan, ilmu, kearifan, kenabian, dan juga al-qur’an. Ada juga yang menerjemahkan hikmah sebagai pemahaman komprehensif al-qur’an dari segi nasikh mansukh-nya, muhkam-mustasyabbihnya, urutan turunnya ayat, hingga hukum halal dan haramnya. Hikmah juga biasa ditafsirkan sebagai integrasi antar ucapan dan perbuatan, ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, takut kepada allah dan bersikap hati-hati (wara’) dalam agama, ilmu beserta pengamalannya, hingga menjawab pertanyaan dengan cepat dan benar. Singkatnya dari terminologi hikmah merujuk kepada pengertian ketepatan berkata dan bertindak dan memperlakukan sesuatu secara bijaksana (al-ishabat fi al aqwal wa al af’al-wa wadla’a kulla syay’ fi maudli’ihi).
Hikmah sebagai induk dari seluruh pendekatan dakwah, mencakup juga pendekatan dengan perkataan yang bijak (hikmah al-qaul). Terkait dengan ini, al-Qhatany membagi kaum muslim dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang bersikap cepat-tanggap menerima kebenaran dakwah atau mereka yang pernah disebut oleh Wahbah Zuhayli dengan istilah al-sabiquna fi al khairat. Kedua, yaitu kelompok mad’u yang pengertiannya dicakup melalui terminologi al-usat dalam pengkategorian Abdul Karim Zaidan. Menurut al-Qahtany, pendekatan dakwah yang tepat untuk kelompok mad’u ini adalah salah satu dari tiga bentuk perkataan bijak berikut ini. Pertama, al-mau’izhah al-hasanah, kedua al-targhib wa al tarhib, ketiga, perumpamaan-perumpamaan (hikmat al-qaul al-tashwiriyyah).

2.      Mau ‘izhah Hasanah
Pendekatan dakwah melalui mau ‘izhah hasanah dilakukan dengan perintah dan larangan disertai dengan unsur motivasi (targhib) dan ancaman (tarhib) yang diutarakan lewat perkataan yang dapat melembutkan hati, menggugah jiwa, dan mencairkan segala bentuk kebekuan hati, serta dapat menguatkan keimanan dan petunjuk yang mencerahkan. Pendekatan dakwah ini secara praktikal terdiri dari dua bentuk, pengajaran (ta’lim) dan pembinaan (ta’dib). Dakwah mau’izhah Hasanah  dalam bentuk ta’lim dilakukan dengan menjelaskan keyakinan tauhid disertai pengamalan implikasinya dari hukum syariat yang lima, wajib, haram, sunah, makruh dan mubah dengan penekanan tertentu sesuai dengan kondisi mad’u dan memperingatkan mad’u dari bersikap gemampang (al-tahawun) terhadap salah satunya.  
Adapun pendekatan dakwah mau’izhah hasanah melalui pembinaan yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika (budi pekerti mulia). Selanjutnya dai yang menghendaki mau’izhah hasanah yang tepat sasaran, kata al-Qhatany, harus memerhatikan lima hal ini. Pertama, memerhatikan dengan seksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan konteks waktu dan tempat. Kedua, mengukur skala prioritas kemungkaran yang mesti lebih dahulu ditangani sesuai derajat kerusakannya di masyarakat. Ketiga, memikirkan efek yang ditimbulkan lebih jauh oleh kemungkaran ini dari segi psikis, sosial, kesehatan hingga finansial. Keempat, menghadirkan argumentasi agama terkait dengan efek kemungkaran tersebut, bisa dari ayat al-Qur’an, hadis nabi, perkataan sahabat atau nasihat ulama. Kelima, jika mau nasihat-nasihat ini dapat didokumentasikan dalam bentuk tulisan bertema yang mengupas bahaya suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta motivasi mereka untuk bertobat.
Adapun jika mau’izhah hasanah tersebut dimaksudkan untuk memotivasi amal sholeh, maka langkah-langkahnya berikut ini. Pertama, merenungkan secara mendalam keistimewaan dan efek kebaikan amalan tersebut dalam kehidupan sosial. Kedua, menghadirkan argumentasi yang berisi motivasi amal shaleh tersebut. Ketiga, jika mau dibuat dokumentasi bertema seperti di atas.
3.      Debat yang terpuji (al-Jadal al-Husna)
Hikmah sebagai induk dari metode dakwah juga meliputi pendekatan dakwah melalui debat yang terpuji (al-jidal bi al lati hiya ahsan). Pendekatan dakwah ini dilakukan dengan dialog yang berbasis budi pekerti yang luhur, tutur kalam yang lembut, serta mengarah kepada kebenaran dengan disertai argumentasi demonstratif rasional dan tekstual sekaligus, dengan maksud menolak argumen batil yang dipakai lawan dialog. Debat yang terpuji dalam dakwah tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri.
Termasuk dalam kelompok ini adalah masing-masing nonmuslim yang bersahabat. Mereka bisa didekati dengan metode dakwah ini. Dialog terpuji ini dengan mereka pertama kali dimaksudkan bukan untuk mengajak mereka beriman- dalam arti mengimani kerasulan Nabi Muhammad. Kategori mad’u munafik yang diperlakukan sebagai muslim juga didekati melalui metode dakwah dialog terpuji. Metode ini dimaksudkan untuk mempertegas kebenaran yang masih mereka sangsikan, mengikis kepura-puraan beragama, dan merobohkan segala bentuk formalisasi beragama. Metode ini juga dapat mempertegas warna keimanan mereka, apakah lebih dekat untuk beriman atau akut dalam kekafiran yang membuat kaum muslim dapat jelas bersikap dan memperlakukan mereka, apakah harus lunak atau keras (ghilzah). Dengan begitu, diharapkan mereka tidak lagi menjadi musuh dalam selimut. Dalam bentuk sikap moral gejala-gejala kemunafikan yang bisa tumbuh dalam jiwa siapa saja dari kaum beriman juga mesti dipangkas dengan dialog yang baik atau mau’izhah hasanah tergantung dari tingkat pemahamannya.
4.      Tindakan Balasan Setimpal (Iqabah bi al-Mitsl)
Terakhir, dakwah juga mengakui dan melegalkan sikap keras dan tegas kepada kelompok mad’u kafir, yaitu  mereka yang gemar menutup-nutupi kebenaran, tidak kooperatif, dan tidak mau bersahabat, menghalangi dakwah dan berniat menghancurkan dan memusuhi agama, baik dari kelompok munafik maupun nonmuslim. Pendekatan dakwah semacam ini dinamai al-iqab bi al-mitsl yang terjemahannya “dakwah dengan balasan setimpal”. Dalam pemetaan metode dakwah, pendekatan balasan setimpal berada masih dalam lingkup dakwah bi al-hikmah yang diistilahkan dengan hikmat al-quwwah atau jihad qitaly (jihad perang). Maksud yang ingin dicapai dengan pendekatan dakwah ini adalah untuk menolak fitnah terhadap dakwah islam menghadirkan kebebasan beragama dan menumpas kesewenang-wenangan (zulmat al-tughyan). Sebagai pendekatan dakwah dengan basis kekerasan atau ketegasan, dakwah iqab bi al-mitsl dalam praktiknya tidak menghendaki perlakuan yang serampangan dengan hawa nafsu, lebih dari itu diputuskan di atas hikmah dan moral islami. Karena itu, dalam praktiknya pendekatan dakwah ini dibatasi dengan banyaknya persyaratan yang ketat, bahkan menurut ketentuan al-qur’an mesti dijadikan alternatif terakhir dan bila perlu, memberi amnesti itu lebih baik daripada pembalasan. Demikian itu karena islam dalam watak dasar nya adalah agama yang menghendaki kedamaian dan senantiasa mengajak kepada kedamaian.
Namun demikian, pemberian amnesti itu juga bukan tanpa perhitungan, karena jika tidak, maka bisa jadi dakwah islam malah akan dilecehkan atau diremehkan. Untuk itu, menurut Sayyid Quthub, amnesti hanya diberikan dalam dua kasus saja, pertama, ketika kondisi umat islam memiliki kekuatan untuk membalas sehingga amnesti akan memberikan kesan menonjol atas doktrin rahmatan lil alamin. Kedua, ketika kejahatan musuh bersifat individual atau orang perorang dan bukannya memfitnah akidah islam. Apabila yang terakhir ini yang terjadi, maka pilihannya bukan amnesti, melainkan pembelaan dengan segenap kekuatan yang dimiliki.
Hikmat al-quwwah sebagai pendekatan dakwah menurut al-Qahtany juga berlaku terhadap kaum muslim dalam wujud hadd dan ta’zir. Penggunaan pendekatan dakwah ini dimaksudkan untuk memperoleh stabilitas sosial dengan bertindak tegas terhadap setiap pelanggar hukum yang telah ditetapkan bersama. Prinsip hukuman dalam berdakwah memang sekali perlu digunakan demi menciptakan masyarakat beradab yang sadar hukum, sebab bagaimanapun juga dakwah dihadirkan untuk memberikan kebahagiaan hidup bermasyarakat yang hanya mungkin diwujudkan melalui keamanan dan ketertiban sosial berdasarkan hukum yang disepakati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar