ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
TRADISI BEJANJAM DI DESA SUKARARA KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH
TRADISI BEJANJAM DI DESA SUKARARA KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH
A. Naluri Manusia
Sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai tradisis
Bejanjam, terlebih dahulu kita ketahui bahwa manusia itu mempunyai naluri,
karena manusia merupakan makhluk yang sangat unik bahkan bisa dibilang sangat
spesial. Ia diciptakan sedemikian rupa dengan berbagai komponen dan potensi
yang luar bias. Terkadang ia merasa takut, merasakan cinta, bahagia, sedih, dan
banyak lagi perasaan-perasaan lainnya. Semua itu muncul dari naluri yang telah
diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai salah satu potensi dan komponen
untuk menopang kehidupannya. Naluri ini merupakan bawaan sejak lahir dan
bersifat internal.
An Nabhani berdasarkan penelitiannya terkait perilaku
manusia membagi naluri secara umum menjadi tiga jenis[1],
yaitu:
1. Naluri Mempertahankan diri (Gharizatul Baqa’)
2. Naluri mempertahankan jenis (Gharizatun Nau’)
3. Naluri Beragama (Gharizatut Tadayyun)
Ketiga naluri ini bisa dibilang merupakan pokok
dan sumber dari semua perilaku dan sikap yang ditunjukkan manusia dalam
kehidupannya. Begitu pula dengan rasa sedih akibat ditinggal oleh orang yang
dikasihi. Perasaan ini, menurut An Nabhani merupakan perwujudan dari naluri
mempertahankan jenis. Dengan kata lain kesedihan dan perasaan duka terutama
ketika ditinggal mati oleh orang yang dikasihi merupakan hal yang lumrah bagi
manusia. Karena ia lahir dan muncul dari sebuah potensi yang telah menjadi
bagian internal dari manusia itu sendiri.
Sepanjang sejarah kita temukan banyak sekali tradisi
dan ritual yang dilakukan manusia ketika menghadapi peristiwa kematian. Ritual
dan tradisi itu bahkan sudah ada sejak pertama kali manusia menjalani kehidupan
mereka di bumi. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an tentang awal mula
penguburan jasad manusia.
Artinya:
Kemudian Allah
menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata
Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung
gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini ?" Karena itu
jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (QS.
Al-Maidah: 31)
Sampai sekarangpun berbaga tradisi dan ritual tersebut
masih ada dan dilakukan di seluru dunia dengan berbagai ragam dan jenisnya.
Masing-masing agama juga memiliki ritual yang mereka laksanakan ketika salah
seorang dari penganut mereka meninggal. Mulai dari membacakan Do’a dan lain
sebagaianya.
Salah satu dari
tradisi yang ada kaitannya dengan kematian tersebut juga terdapat di Lombok,
tradisi tersebut dinamakan tradisi bejanjam.
B.
Latar Belakang Tradisi Bejanjam
Tradisi bejanjam
merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh suku sasak yang bermukim di
wilayah Lombok Tengah dan Lombok Selatan. Salah satunya adalah warga masyarakat
di Desa Sukarara kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah. Bejanjam
sendiri dalam bahasa indonesia berarti meratap. Sehingga secara singkat tradisi
bejanjam ini adalah tradisi yang dilakukan saat ada salah seorang sanak
keluarga yang meninggal.[2]
Kaum wanita dari keluarga dekat almarhum atau almarhumah yang
biasanya melakukan ritual bejanjam. Hal ini dikarenakan para wanita
memang lebih perasa dan lebih emosional ketimbang laki-laki. Sehingga mereka
lebih mudah mengungkapkan kesedihan dan rasa duka mereka dalam bentuk kata-kata
secara spontan.
Selain yang ada di desa Sukarara, Praya, tradisi bejanjam rupanya
terdapat juga di wilayah Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat. Walaupun tata cara
dan pengertiannya berbeda dengan tradisi bejanjam yang ada di desa Sukarara
namun tradisi ini masih ada kaitannya dengan kematian. Dimana tradisi bejanjam
yang dilakukan di wilayah Batu Layar ini dilakukan ketika berziarah ke makam
Batu Layar, salah satu makam yang dikeramatkan oleh warga setempat.
Warga setempat meyakini bahwa makam Batu Layar adalah makam tempat
disemayamkannya salah seorang keturunan Rasulullah saw. Beliau adalah seorang
tokoh penyebar Islam berkebangsaan Baghdad yang bernama Sayyid Duhri Al Haddad
Al Hadrami. Ada juga yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Syaikh Sayyid
Muhammad Al Baghdad.
C.
Pelaksanaan Bejanjam
Biasanya bejanjam ini dilakukan oleh kaum wanita dari keluarga dekat
orang yang meninggal. Bejanjam sendiri merupakan syair ratapan yang
disenandungkan secara spontan dengan nada mengharukan yang berisi ungkapan
kesedihan dan duka cita karena ditinggal mati oleh salah satu anggota keluarga.
Tidak hanya itu bejanjam juga berisi pernyataan atas segala kebaikan
almarhum atau almarhumah semasa hidup.
Mereka akan berhenti melakukan bejanjam ketika semua
perasaaa duka dan kesedihan mereka telah diluapkan atau ketika kiai telah datang
untuk memulai prosesi pengurusan jenazah.Mulai dari
memandikan,menyolatkan,hingga menguburkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya isi dari bejanjam
yang dilakukan oleh kaum wanita adalah ungkapan duka atas meninggalnya almarhum
serta menyebut-nyebut kebaikannya semasa hidup. Namun terkadang kaum wanita
yang tidak bisa mengontrol kesedihannya melakukan bejanjam dengan
menyisipkan kata-kata yang agak berlebihan di dalam syair ratapannya. Saat itu
sanak kerabat atau kiai yang mendengar akan mengingatkan mereka.
Bejanjam ini
juga tidak selalu dilakukan setiap kali ada orang yang meninggal. Hal itu
tergantung pada hubungan emosional antara yang meninggal dengan orang lain.
Jika orang-orang yang ada di sekitar yang meninggal tidak memiliki hubungan
emosional dengan orang di sekitarnya maka bejanjam tidak akan dilakukan.
Tradisi bejanjam juga melahirkan kebiasaan baru yang disebut
betandak. Betandak dalam bahasa indonesia artinya bersyair. Betandak
ini bisa dikatakan lebih bebas waktu pelaksanaannya ketimbang bejanjam. Isinya
pun berbeda dengan bejanjam. Tergantung dari kondisi dan suasana hati
orang yang hendak betandak. Namun orang-orang sasakbiasanya betandak
ketika mereka memiliki perasaan istimewa untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Seperti saat hendak mengunjungi kekasihnya sehingga syair yang mereka ungkapkan
ketika betandak berisi ungkapan rasa rindu, cinta atau gugup karena akan
bertemu dengan sang kekasih. Syair yang diungkapkan saat betandak juga
bisa berisi ungkapan rasa syukur dan bahagia ketika tengah memanen padi. Tak
jarang pula mereka betandak ketika tengah dirundung duka. Berikut adalah
salah satu syair sasak yang biasa dilantunkan ketika betandak:
Aduh anakku mas mirah
Buak ate kembang mate
Mulen tulen kubantelin
Sintung jari salon angin
Berembe bae side nune jangkem ngeni
Kembang mate kelepangne isik angin
Laguk temak side nune
Bau yak bedait malik
Namun perkembangan tradisi bejanjam ini perlahan mulai
memudar seiring dengan perkembangan Islam modern. Hal itu disebabkan para kiai
atau tokoh agama yang datang kemudian melarang untuk meratapi jenazah. Akan
tetapi tradisi ini masih bisa kita temukan dilakukan oleh para sesepuh dan
orang-orang tua di beberapa daerah pelosok seperti di kampung Bunrantok di
Sukarara.
Pelaksanaan tradisi bejanjam yang ada di Batu
Layar berbeda dengan yang ada di Desa sukarara, dimana pelaksanaanya dilakukan
dengan cara: Sebelum
berziarah, para pengunjung dihimbau untuk terlebih dahulu mengambil air dari
sebuah tempat bernama Lingkuk Mas. Lingkuk Mas sendiri jika diterjemahkan ke
dalam bahasa indonesia artinya Sumur Mas. Air yang mereka ambil dari Lingkuk
Mas ini nantinya akan digunakan untuk ritual tradisi bejanjam.
Tradisi Bejanjam ini sendiri adalah membasuh wajah anak-anak dengan
harapan kelak mereka menjadi anak yang saleh. Dan biasanya air yang digunakan
untuk membasuh tersebut didapat dari Lingkuk Mas.
D.
Kearifan Lokal Tradisi Bejanjam
Pada dasarnya tradisi bejanjam memiliki nilai-nilai positif
di balik pelaksanaannya. Diantaranya adalah kandungan nilai moral dan sosial. Hal
ini bisa kita lihat dari syair bejanjam
yang diisi dengan menyebut-nyebut kebaikan orang yang sudah meninggal
sekaligus mempererat hubungan emosional antar warga dalam suasana duka.
Kesimpulan
Memudarnya tradisi bejanjam ini merupakan akibat dari
larangan para kiai dan tokoh agama yang datang kemudian. Mereka berdalih bahwa
meratapi dan menangisi mayat atau jenazah merupakan sesuatu yang dilarang
secara mutlak. Sehingga perlahan orang-orang mulai meninggalkan kebiasaan ini,
kecuali beberapa orang tua dan sesepuh di desa dan wilayah-wilayah tertentu.
Padahal jika diperhatikan tradisi bejanjam ini pada mulanya
tidak dilarang oleh para kiai dan tokoh agama pada masa itu sehingga tetap
dilakukan sampai muncul larangan. Beberapa faktor yang membuat mereka
membolehkan hal tersebut dikarenakan di dalam bejanjam kaum wanita hanya mengungkapkan perasaan duka
mereka dan tidak mengatakan segala sesuatu yang bisa membuat Allah swt murka
atau terhitung sebagai perbuatan dosa. Bahkan mereka menyebutkan segala
kebaikan yang pernah dilakukan oleh si almarhum atau almarhumah. Tidak hanya
itu tangisan yang mereka lakukan pun bukan tangisan yang dibuat-buat melainkan
buah dari perasaan duka mereka karena ditinggal mati oleh orang yang dikasihi. Jadi
hal tersebut sangat alami dan lumrah dilakukan oleh manusia.
Berdasarkan keterangan yang didapat juga, para kiai dan tokoh agama
terdahulu tersebut membolehkan berlangsungnya tradisi ini karena di dalam Al
Qur’an terdapat ayat yang membolehkan untuk menangisi atau meratapi seseorang.
Hal itu termaktub di dalam surah Yusuf ayat 84 dan 86:
Artinya:
Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata:
"Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih
karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap
anak-anaknya). Mereka berkata: "Demi Allah, Senantiasa kamu mengingati
Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau Termasuk orang-orang
yang binasa".
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku
mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang
kamu tiada mengetahuinya." (Qs.
Yusuf: 84-86)
Mereka juga menyatakan bahwa setiap kata yang diungkapkan oleh kaum
wanita ketika bejanjam hanya
berisi ungkapan duka mereka saja, tidak lebih. Dan sangat jarang sekali mereka
menyisipkan kata-kata atau kalimat yang seakan menampakkan ketidakrelaan mereka
terhadap keputusan atau takdir Allah swt atas meninggalnya keluarga mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Yadi. 2011. Psikologi
Kepribadian. Bandung: PT Refika Aditama. Cet ke-2.
Hasil wawancara
dengan beberapa warga di Desa Sukarara Kecamatan Praya Lombok Tengah.