Kamis, 31 Maret 2016

Makalah Model-Model Perumusan Kebijakan Sosial



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kebijakan Publik adalah apapun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Pemerintah melakukan banyak hal seperti mengatur perilaku, mengorganisasi birokrasi, mendistribusikan manfaat, atau menarik pajak, atau semuanya itu sekaligus menurut Thomas R.Dye dalam Edi Suharto. Dengan demikian kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik. Menurut Kenneth E. Boulding dalam Edi Suharto, Kebijakan sosial adalah kebijakan-kebijakan yang berpusat pada institusi-institusi yang menciptakan integrasi dan mencegah aliance. Tujuan kebijakan sosial adalah membangun identitas seseorang dalam kaitannya dengan suatu masyarakat tempat dia tinggal. Keberhasilan kebijakan sosial terletak pada sejauh mana masyarakat atau individu-individu diajak untuk melakukan transfer unilateral demi kepentingan suatu kelompok atau masyarakat yang lebih luas. Dalam penentuan itu pasti ada banyak perumusan perencanaan kebijakan, masukan-masukan dan cara-cara agar kebijakan sosial terkafer dengan baik dan terlaksana seperti apa yang diinginkan dari para pemain kebijakan. Dari latar belakang ini penulis ingin memaparkan tentang pengertian kebijakan sosial, Model Perumusan Kebijakan Sosial dan Proses Perumusan Kebijakan Sosial yang mungkin bisa menjadi acuan atau panduan dalam menentukan kebijakan sosial guna kesejahteraan masyarakat luas.[1]
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian Kebijakan Sosial?
2.      Bagaimana Model-model perumusan kebijakan sosial?
3.      Bagaimana proses perumusan kebijakan sosial?
C.     Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah yang ada dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Kebijakan Sosial
2.      Untuk mengetahui model-model perumusan kebijakan sosial
3.      Untuk mengetahui proses perumusan kebijakan sosial

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kebijakan Sosial
Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’ (social). Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya.
Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Seperti halnya kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ pun memiliki beragam pengertian. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian:
·         Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial.
·         Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas (community).
·         Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
·         Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.
Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).
B.     Model-model Perumusan Kebijakan Sosial
Model adalah wakil idea dari situasi-situasi dunia nyata. Model adalah penyederhanan dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan menjadi dua yaitu model fisik dan model abstrak. Model fisik adalah reproduksi dari suatu benda yang berukuran kecil dari benda atau objek fisik yang dibuat untuk memaparkan gambaran bentuk asli dari benda yang ingin digambarkan. Model abstrak adalah penyederhanaan fenomena sosial atau konsep-konsep tertentu yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan-pernyataan teoritis, simbolis, gambar atau rumusan-rumusan matematis mengenai fenomena yang didiskripsikannya.[2]
Selain model kebijakan sosial menunjuk pada bentuk dan pendekatan kebijakan sosial, model kebijakan sosial juga dapat dibuat dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan sosial. Model seperti ini menunjuk pada proses perumusan kebijakan sosial. Namun demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa model tersebut bukanlah suatu proses yang kaku. Karenanya tidak ada “cetak biru” khusus yang harus diikuti secara tertutup. Langkah-langkah dalam model perumusan kebijakan sosial dibawah ini hanyalah berfungsi sebagai pedoman yang memandu proses perumusan kebijakan. Menurut Gilbert dan Specht dalam Edi Suharto menyatakan bahwa setidaknya ada tiga model yang dapat diikuti untuk merumuskan kebijakan sosial, sebagaimana dijelaskan pada tabel 1.2 dibawah ini:


Tabel 1.2: Model-Model Perumusan Kebijakan Sosial
Model A
Perencanaan
Model B
Pembuatan Kebijakan
Model C
Pengembangan Kebijakan
1.      Dorongan Perencanaan
2.      Eksplorasi/Penelitian
3.      Pendefinisian Tugas-tugas Perencanaan
4.      Perumusan Kebijakan
5.      Perumusan Program
6.      Evaluasi
1.      Pengidentifikasian masalah
2.      Perumusan Kebijakan
3.      Legitimasi Kebijakan
4.      Implementasi Kebijakan
5.      Evaluasi Kebijakan
1.      Perencanaan Kebijakan
2.      Pengembangan dan implementasi program
3.      Evaluasi

Tabel di atas memperlihatkan bahwa perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui beberapa tahap yang berbeda namun memiliki kesamaan. Berdasarkan model-model tersebut, kita dapat merumuskan kebijakan yang dikelompokkan dalam tiga tahap : identifikasi, implementasi dan evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa langkah tahapan yang terkait. Oleh karena itu, model perumusan kebijakan dapat disebut dengan sebutan “segitiga perumusan kebijakan”. 



1.      Tahap Identifikasi
·         Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pengumpulan data mengenai permasalahan sosial yang dialami masyarakat serta mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi.
·         Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap ini yaitu memilah dan mengolah data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan kedalam laporan yang terorganisasi.
·         Penginformasian Rencana Kebijakan: Setelah ada hasil dari laporan analisis maka disusunlah rencana kebijakan yang disampaikan kepada subtansi masyarakat dan juga bisa diberitahukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
·         Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat beberapa saran dari masyarakat, maka dilakukan diskusi untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang dari alternatif itu dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan kebijakan.
·         Pemilihan Model Kebijakan: Tahap ini digunakan untuk menentukan pendekatan, strategi, dan metode yang paling efektif dan efisien jua dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis, dan dapat dipertanggung jawabkan.
·         Penentuan Indikator Sosial: tahap ini berfungsi sebagai acuan, ukuran standarisasi rencana tindakan dan hasil yang akan dicapai.
·         Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik:Menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan. Melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negoisasi, dan koalisi dengan kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan yang akan diterapkan.[3]
2.      Tahap Implementasi
·         Perumusan kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
·         Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoprasionalkan kebijakan kedalam usulan-usulanprogram atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.
3.      Tahap Evaluasi
·         Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap  proses maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau perumusan kebijakan baru.
C.     Proses Perumusan Kebijakan Sosial
Salah satu tugas dari pemerintah adalah merumuskan kebijakan publik. Perumusan ini membutuhkan sebuah proses yang sistematis walaupun tidak kaku, proses perumusan kebijakan memungkinkan sistem pemerintahan dalam merumuskan kebijakan menjadi teratur dan memiliki ritme yang jelas. Proses perumusan kebijakan juga sering disebut dengan sebutan lingkaran kebijakan ( policy cycle ) menurut Bridgman dan Davis, 2004 dalam Edi Suharto. Proses ini melibatkan berbagai lapisan dari pejabat pemerintah dan lembaga non pemerintah. Cara yang paling sering digunakan untuk membuat kebijakan adalah membagi proses perumusannya kedalam beberapa langkah yang jelas dan mudah diidentifikasikan secara terpisah. Aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan publik adalah warga negara secara individu di Swiss dan negara bagian California menurut Winarno, 2004: 91 dalam Edi Suharto, elit politik di negara yang berkembang seperti Korea Selatan, Indoneia dan Kuba dengan pengaruh sedikit dari masyarakatnya, setiap penduduk di negara maju.[4] Dalam garis besar para pemain kebijakan dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu pertama, pemain resimi seperti lembaga eksekutif, yudikatif, dan legeslatif. Kedua, pemain non formal seperti kelompok kepentingan, partai politik, warga negara individu.
Proses perumusan kebijakan menurut Sabatier dan Jenkis-Smith, 1993; Bridgman dan Davis, 2004. Sebgai contoh Anderson 1994: 37 dalam Edi Suharto menyatakan bahwa perumusan kebijakan mengikuti sekuen logis sebgai berikut:
Ø  Pemerintah menyadar bahwa sebuah respon diperlukan untuk mengatasi masalah.
Ø  Pemerintah menyeleksi aksi  apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah.
Ø  Pemerintah menetapkan sebuah solusi
Ø  Pemerintah mengimplementasikan solusi yang telah dipilih.
Ø  Pemerintah mengajukan pertanyaan “apakah kebijakan itu berjalan dengan baik?”
Hampir semua penjelasan mengenai proses perumusan kebijakan bergerak melalui tiga tahapan, yaitu pengembangan ide, melakukan aksi, dan mengevaluasi hasil. Namun menurut Edi Suharto 2008, langkah-langkah akan dimulai dari identifikasi isu, merumuskan agenda kebijakan, melakukan konsultasi, menetapkan keputusan, menerapkan kebijakan, dan mengevaluasi kebijakan. Namun demikian, perumusan kebijakan tidak selalu dilakukan secara melingkar dengan tahapan dan kegiatan yang selalu sama. Tergantung pada konteks dan kebutuhan, proses perumusan kebijakan bisa juga dilakukan melalui serangakaian kegiatan yang tidak selalu berbentuk lingkaran kebijakan.[5]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Sejarah menyaksikan bahwa semakin maju dan demokratis suatu negara, maka semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya, di negara-negara miskin dan otoriter kebijakan sosial pada hakekatnya kurang mendapatkan perhatian. Kebijakan sosial hakekatnya kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan yang sungguh-sungguh berpihak demi kesejahteraan rakyat demi terwujudnya tatanan negara yang baik dengan adanya rumusan formulasi perencanaan kebijakan sosial yang terkafer dengan jelas, rinci dan tepat, sehingga memperkuat sistem tatanan negara kesejahteraan.


DAFTAR PUSTAKA

Suharto Edi,2005. Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Suharto Edi, 2008.Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Dunn, William N, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, diterjemahkan oleh Samudra Wibowo. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.










[1] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Banding: Alfabeta, 2008), hlm. iii

[2] Suharto Edi, Analisis Kebijakan Publik, ( Bandung : alfabeta, 2008 ), hlm. 69.

[3] Suharto Edi,   Analisis Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 78-80.

[4] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 23.

[5] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 26-25.