PELACURAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL
A.
Pengertian Pelacuran
Menurut Soerjono Soekanto, pelacuran dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan
perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.[1] Dari
pengertian yang dibuatnya, tampak dengan jelas bahwa Soerjono Soekanto
menggunakan prespektif motif dalam menjelaskan definisi pelacuran. Beliau
memandang pelacuran sebagai sebuah profesi yang bersifat ekonomis tanpa
memperhatikan apakah pelacuran merupakan sebuah problema sosial atau bukan.[2] Soerjono
Soekanto menambahkan, pelacuran menjadi suatu masalah sosial atau tidak
tergantung dari cara masyarakat memandang masalah tersebut sebagai tindakan
yang menyimpang ataupun bukan.
Berbeda dengan Soerjono Soekanto, Drs. Muhammad Hawari mengatakan pelacuran
adalah setiap hubungan kelamin secara bebas antara pria dan wanita tanpa diikat
suatu perkawinan yang sah.[3] Dalam
definisinya, Muh. Hawari menggunakan prespektif sosiologis dalam memandang
pelacuran yakni hubungan di luar perkawinan yang sah, sehingga definisi ini
bisa memastikan pelacuran sebagai suatu tindakan bertentangan dengan norma
kesusilaan masyarakat Indonesia. Namun perlu dicatat, dalam definisinya, Muh.
Hawari tidak melihat masalah motif seperti yang dipaparkan oleh Soerjono Soekanto.
Pengertian pelacuran lainnya ialah perilaku seks bebas yang dilakukan
secara tidak sah menurut hukum dan agama, yang terjadi di dalam masyarakat.
Biasanya wanita yang melakukan disebut wanita P (singkatan dari pelacur) dan
laki-lakinya dinamakan pria hidung belang.[4] Waktu P
itu berkeliaran di waktu malam di taman-taman, di pinggir jalan dan
tempat-tempat tertentu lainnya untuk menanti laki-laki yang akan menjemputnya.
Tingkat pelacuran seperti ini dinamakan pelacuran tingkat rendah. Disamping itu
ada lagi pelacur tingkat tinggi, yaitu mempunyai rumah sendiri, atau di
hotel-hotel kelas wahid.
Usaha mengatasi pelacuran dengan jalan menampung kegiatan mereka di
tempat-tempat yang disediakan secara khusus, belumlah pasti akan dapat
menyelesaikan masalahnya. Bahkan bukan tidak mungkin dengan cara lokalisasi itu
pelacuran akan lebih pesat perkembangannya. Yang penting dalam usaha
menanggulangi pelacuran itu ialah dengan jalan mengetahui sebab-sebab
terjadinya, meningkatkan sanksi/hukum bagi si pelakunya, dan menyalurkan
wanita-wanita P itu kepada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya dan
masyarakatnya.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran
Berbicara mengenai
motif, tentu terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya masalah
pelacuran. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan menjadi faktor internal
atau faktor yang berasal dari dalam diri seseorang dan faktor eksternal atau
faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Faktor internal yang
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan melacur antara lain sifat malas,
kurangnya pendidikan, cacat, dan hypersexual.
·
Faktor sifat malas
tidak terlepa adanya keingingan untuk mendapat uang serta menjadi orang kaya
tanpa harus bekerja keras.
·
Faktor kurangnya
pendidikan tidak terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar pelaku prostitusi
(khususnya PSK) lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang miskin. Mereka pun
juga kebanyakan berasal dari orang tua yang berwatak lemah dan kurang terdidik
sehingga standard moral keluarga-keluarga mereka pada umumnya rendah dan cara
orang tua mereka memberikan pembentukan displin tidak bijaksana serta tidak
dapat dipertanggung jawabkan.[5]Seorang
anak memandang orang tua sebagai role model-nya dalam bertingkah laku,
sehingga seorang anak dapat memiliki watak yang lemah apabila ia meniru watak
orang tuanya yang juga lemah maupun dibesarkan dalam suasana pendidikan
karakter yang lemah.
·
Faktor kecacatan dalam
penyebab internal munculnya pelacuran merupakan kecacatan dalam konteks cacat secara jiwa
atau psikologis. Cacat jiwa dalam diri seorang calon PSK muncul ketika ia
mengalami kekecewaan atau kepahitan hidup yang pernah dialaminya, utamanya
kekecewaan seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan. Akibatnya, melacur
pun dianggap sebagai jalan keluar atas kekecewaan tersebut.
·
Faktor internal terakhir yakni
hypersexual didefinisikan sebagai kemauan atau hasrat untuk berhubungan
seks secara berlebihan. Gangguan psikologis maupun cacat jiwa juga berpengaruh
dalam faktor ini.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, selain faktor internal, terdapat pula faktor eksternal
yang mendorong seseorang untuk melacur. Faktor eksternal tersebut meliputi
ekonomi yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, adat-istiadat setempat, dan
adanya perdagangan seks.
·
Faktor ekonomi yang
lemah merupakan faktor yang mendorong munculnya rasa malas dan keinginan untuk
menjadi orang kaya atau keluar dari garis kemiskinan secara instan dan melacur
dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk mewujudkannya.
·
Faktor keluarga yang
tidak harmonis juga turut berperan dalam menimbulkan rasa kecewa (sudah
dijelaskan sebelumnya) yang akhirnya membuat seseorang melacur.
·
Faktor adat-istiadat
juga turut membuat seseorang melacur dikarenakan adanya adat-istiadat yang
membenarkan atau membolehkan hubungan seks diluar perkawinan, adanya free
sex atau pergaulan bebas.[6] Meskipun
adat-istiadat merupakan salah satu faktor eksternal, adanya pembenaran hubungan
seks diluar perkawinan sulit ditemui di dalam masyarakat Indonesia mengingat
umumnya masyarakat Indonesia memandang hubungan seks diluar perkawinan sebagai
tindakan yang tercela dan tabu. Jikalau suatu masyarakat membenarkan keberadaan
pelacuran, bisa dikkatakan terdapat faktor ekonomi yang mendorong adat-istiadat
suatu masyarakat membenarkan tindakan tersebut, seperti yang terjadi di
lokaliasasi Dolly dimana masyarakat sekitar yang tidak terlibat kegiatan
prostitusi memanfaatkan keramaian kawasan “lampu merah” tersebut untuk membuka
usaha dan menolak penutupan lokalisasi.
·
Faktor eksternal yang
terakhir yakni adanya perdagangan seks, disebabkan oleh mudahnya akses berupa
tempat pemukiman yang mempertemukan para pelaku pelacuran, baik itu PSK, para
tamu atau pelanggan serta mucikari. Selain memudahkan transaksi uang,
menjamurnya tempat-tempat prostitusi atau rumah bordil dapat mengundang
seseorang untuk turut terlibat dalam kegiatan prostitusi tersebut baik sebagai
PSK maupun pelanggan.
C. Akibat dari Pelacuran
Suatu penyebab pasti
menghasilkan akibat, begitu pula dengan faktor-faktor penyebab pelacuran.
Akibat daripada pelacuran dapat terjadi pada diri si pelaku maupun masyarakat
yang tinggal di sekitar tempat dimana masalah terjadi.
Akibat dari pelacuran
bagi diri si pelaku (bukan hanya PSK saja tetapi juga si tamu) pada umumnya
berupa akibat biologis atau akibat terhadap tubuh para pelaku. Akibat biologis
terebut antara lain penyakit kelamin dan kulit terutama syphilis dan gonorrhoe
(kencing nanah) yang disebabkan oleh penularan virus maupun bakteri saat
berhubungan seksual sampai virus HIV yang menyebabkan AIDS atau pelemahan
sistem imun tubuh, serta disfungsi seksual (tidak berfungsinya organ seksual)
misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satyriasis,
dan ejakulasi premature.[7]
Berbeda dengan akibat
pelacuran bagi diri si pelaku sendiri yang memiliki dampak biologis, akibat
pelacuran bagi masyarkat yang tinggal di sekitar masalah sosial tersebut
cenderung bersifat sosiologis, yakni rusaknya rumah tangga, demoralisasi
masyarakat hingga munculnya korelasi dengan kriminalitas dan narkotika.
Rusaknya rumah tangga
terjadi akibat ketiadaan sikap setia antara seorang suami dan istri dalam
menjalankan rumah tangga sekaligus membina keluarganya. Adanya kegiatan
prostitusi seakan menggoda suami maupun istri untuk memenuhi atau memuaskan
keinginan seksual mereka tanpa memperhatikan keberadaan pasangan mereka serta
anak-anak mereka. Rasa curiga dan saling tidak percaya pun muncul dalam rumah
tangga yang telah dibina.
Selain rusaknya rumah
tangga, terdapat pula akibat sosiologis lainnya yakni demoralisasi. Menurut
kamus besar bahasa indonesia (KBBI), demoralisasi adalah kemerosotan akhlak
atau kemerosotan moral, khususnya di kalangan remaja.Ditekankannya kalangan
remaja dalam KBBI sebagai “korban” dari demoralisasi mengandung makna yang
logis mengingat usia remaja merupakan usia pengenalan jati diri sehingga
mencari-cari atau keinginan untuk mengenal hal-hal yang tidak bermoral bisa
muncul termasuk dan bahkan mencoba melakukan tindakan asusila seperti hubungan
seks di luar nikah. Namun, akibat demoralisasi dari adanya masalah pelacuran
tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja tetapi juga bagi masyarakat di
segala usia. Adanya rasa diuntungkan oleh keberadaan kawasan-kawasan prostitusi
(seperti yang terjadi di Dolly maupun lokalisasi lain) seakan membuat
masyarakat sekitar tidak peduli dan bahkan membenarkan adanya suatu tindakan yang
melanggar kaidah kesusilaan terjadi. Disadari atau tidak, sikap tidak acuh dan
cenderung membenarkan seperti yang terjadi pada masyarakat terhadap masalah
sosial yang ada di sekitarnya, terlebih lagi masalah pelacuran yang melanggar
kaidah kesusilaan merupakan bentuk dari demoralisasi. Demoralisasi dalam
masalah pelacuran terjadi manakala masyarakat mengesampingkan batas-batas moral
yang diterapkannya sendiri (termasuk kesusilaan) dan lebih memprioritaskan
kepada keuntungan pribadi.
Akibat sosiologis terakhir
dari pelacuran adalah akibat dalam bentuk kriminalitas dan narkotika, dimana
keduanya memiliki korelasi dengan masalah pelacuran. Dr. A.S. Alam, dalam bukunya yang
berjudul Pelacuran dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi
Manusia oleh Manusia, mengatakan bahwa tindak pemerasan merupakan bentuk
kriminalitas yang paling dekat dan sering terjadi di dalam masalah pelacuran.
Pemerasan yang terjadi di dalam pelacuran dapat dilakukan oleh PSK sendiri,
mucikari dan “penguasa” setempat. Pemerasan yang dilakukan oleh PSK berupa
kerja sama antara PSK dengan orang yang disebut oleh A.S. Alam sebagai
“bandit”. Di dalam melakukan kegiatannya, bandit tersebut akan selalu bekerja
sama dengan seorang atau lebih PSK. Setelah tamu seorang PSK membuka pakaiannya,
tiba-tiba bandit itu akan muncul dan mengaku bahwa PSK yang ada dalam kamar
tersebut adalah istrinya (bisa pula suaminya jika PSK yang bersangkutan adalah
pria). Biasanya tamu yang menghadapi hal demikian tidak mempunya pilihan lain
kecuali menyerahkan sejumlah uang yang diminta oleh bandit tersebut.[8] Selain
dari pihak PSK, pemerasan juga kerap dilakukan oleh mucikari terhadap
pekerjanya terutama berkaitan dengan kewajiban untuk menyerahkan uang hasil
pekerjaannya dalam jumlah tertentu. Tak hanya PSK dan tamunya saja yang dapat menjadi korban pemerasan,
mucikari juga dapat menjadi korban pemerasan dari pihak-pihak yang
mengatas-namakan dirinya sebagai “penguasa” setempat baik itu secara resmi
(aparatur atau pejabat pemerintahan) maupun yang tidak resmi (preman, pelaku
pungutan liar, dsb). Pemerasan yang dilakukan oleh penguasa setempat membuat
mucikari harus menyetorkan sejumlah uang kepada mereka apabila tidak mau bisnis
prostitusi yang mereka kelola ditutup.
Akibat negatif yang
ditumbulkan dari pelacuran baik secara biologis yang dialami oleh para pelaku
maupun akibat sosiologis yang dirasakan oleh masyarakat menuntut diciptakannya
solusi-solusi yang ampuh untuk mengurangi dan kalau bisa menghilangkan
pelacuran itu sendiri. Solusi atas masalah pelacuran merupakan bagian dari pengendalian sosial
yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah sehingga dalam mengkaji
pengendalian sosial atas masalah pelacuran perlu dilihat dari sudut pandangan
sosiologis maupun yuridis.
D. Solusi dalam Mengatasi Pelacuran
Secara garis besar, solusi dalam mengatasi masalah pelacuran dapat dibagi
ke dalam tiga tahap yakni secara preventif, represif, dan rehabilitatif.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diperlukan sudut pandang secara
sosiologis maupun yuridis dalam mengkaji dan menentukan tahap manakah yang
digunakan dalam memecahkan masalah pelacuran. Setiap tahapan baik itu
preventif, represif, maupun rehabilitatif tentu dapat ditinjau secara sosilogis
dan yuridis, maupun hanya sosiologis atau yuridis saja.
Tahap pertama dalam mengatasi pelacuran adalah tahap preventif yakni tahap
pencegahan sebelum terjadinya pelacuran dan umumnya tahap ini dapat ditinjau
secara sosiologis. Pencegahan ditujukan kepada masyarakat yang tinggal baik di
dalam maupun di sekitar daerah dimana masalah pelacuran tersebut terjadi,
terlebih lagi kepada generasi muda yang rawan menjadi korban maupun pelaku dari
tindakan asusila tersebut. Upaya preventif yang dilakukan berupa penekanan pada
kegiatan-kegiatan penanaman keyakinan berke-Tuhanan yang Maha Esa, pengamalan
ajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya, penanaman rasa kemanusiaan
yang adil dan beradap serta pengamalannya, dan pelaksanaan pendidikan budi
pekerti atau etika sosial. Dengan kata lain, semua anggota masyarakat harus melaksanakan
dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Penanaman nilai keagaman
diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pelacuran merupakan tindakan yang
dilarang oleh agama mengingat di dalam agama, pelacuran disamakan dengan zinah
yakni hubungan laki-laki dan perempuan diluar perkawinan. Penanaman nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradap diperlukan untuk menanamkan pemahaman bahwa
pelacuran merupakan suatu tindakan yang memperlakukan manusia secara
semena-mena, mengeksploitasi kemerdekaan manusia terlebih lagi sampai ada
tindakan pemerasan. Pelacuran merupakan tindakan yang mengesampingkan martabat
manusia demi keuntungan pribadi. Terakhir, penanaman nilai budi pekerti dan
etika diperlukan untuk menambahkan kesadaran dalam diri masyarakat akan
pentingnya eksistensi dari nilai-nilai kesusilaan. Masalah pelacuran merupakan
akibat sekaligus penyebab demoralisasi kesusilaan itu sendiri semakin luas,
sehingga untuk mencegah terjadinya sekaligus meluasnya demoralisasi kesusilaan,
penanaman nilai-nilai kesusilaan dibutuhkan.
Tahap kedua, yakni
tahap represif, merupakan serangkaian tindakan yang diambil ketika suatu
masalah telah terjadi dan bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut agar
dampak yang dihasilkan tidak membawa kerugian (baik besar atau kecil) bagi
masyarkat, termasuk masalah pelacuran ini. Dalam mengkaji penindakan masalah pelacuran,
kita perlu melihat terlebih dahulu peraturan hukum yang mengatur tindak
pelacuran sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP menyatakan tindak pidana kesusilaan sebagai kejahatan dan diatur
dalam pasal 281-303. Bila diperhatikan pasal demi pasal dari KUHP, tidak ada
satu yang mengatur secara khusus mengenai wanita pelacur. Ketiadaan aturan mengenai PSK (terutama PSK wanita) terkadang menyulitkan
aparatur penegak hukum sehingga penafsiran dan penggunaan aturan daerah menjadi
diperlukan. Tak hanya PSK saja yang ketentuannya tidak diatur secara khusus di
dalam KUHP, tetapi juga tamu atau pelanggan sehingga dalam penindakannya pun
juga sama seperti menindak PSK. Kesulitan tidak hanya soal diatur atau tidaknya
suatu masalah, tetapi kesulitan dalam mengenakan hukum pada pelaku prostitusi
juga dikarenakan prostitusi dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma sosial
yang laten sifatnya, bukannya dipandang sebagai suatu kejahatan (pengecualian
untuk mucikari dan tindakan eksploitasi manusia) Meski tidak mengatur PSK dan
tamu, ternyata KUHP menetapkan aturan mengenai mucikari seperti yang terdapat
dalam pasal 296 (mengatur penyediaan tempat untuk berbuat cabul) dan pasal 506
(mengatur makelar cabul)
Adanya kesulitan dalam
menetapkan hukuman bagi pelaku tindak pelacuran (terutama pengenaan hukuman
yang kurang adil) dan adanya pelimpahan kewenagan bagi pemerintah daerah dalam
mengurus pelacuran (pelacuran dipandang sebagai masalah daerah), maka kebijakan
yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menanggulangi pelacuran berupa razia
terhadap pelacur-pelacur; tindakan pengawasan, pengaturan, dan pencegahan
penyakit; dan kebijakan lokalisasi. Ketiga tindakan tersebut saling terikat
satu sama lain. Lokalisasi dimaksudkan untuk menempatkan para PSK beserta
mucikari di satu lokasi atau wilayah yang sama, sehingga memudahkan pemerintah
dalam mengawasi kegiatan prostitusi. Pengawasan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi atau penularan
penyakit kelamin baik di dalam maupun di luar lokalisasi. Pengawasan juga
berguna dalam proses rehabilitasi para pelaku tindakan pelacuran agar mereka
tergerak untuk tidak berbuat cabul serta dapat kembali ke masyarakat. Razia
yang dilakukan pemerintah selain bertujuan untuk memberantas PSK liar di luar
lokalisasi juga bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin dan
demoralisasi di masyarkat.
Namun, tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menanggulangi pelacuran belum
efektif mengingat kemauan untuk berhenti melakukan tindakan asusila tersebut
datang dari pelaku prostitusi baik itu dari para PSK, tamu, maupun mucikari.
Lokalisasi yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat pembinaan dan pengawasan
tidak tercapai ketika para pelaku prostitusi enggan untuk dibina dan pandangan
lokalisasi sebagai “lumbung uang” masih ada, khususnya bagi PSK dan mucikari.
Berbeda dengan PSK dan mucikari, pandangan bahwa lokalisasi merupakan tempat
pemenuhan keinginan seks bagi para tamu juga mempengaruhi berjalannya bisnis
prostitusi tanpa mempedulikan masalah pembinaan dan pengawasan pelaku
prostitusi.
Dalam mengatasi
pandangan para pelaku prostitusi terhadap lokalisasi beserta kebijakan
pemerintah lain yang mengiringinya, maka dibutuhkanlah tindakan rehabilitatif
yang dapat didefinisikan sebagai tindakan mengembalikan keadaan dan kedudukan
orang yang terlibat dalam pelacuran sebagai individu yang baik dan berpribadi,
,mengembalikan mereka kepada situasi dimana mereka dapat berfikir sehat,
bermental kuat, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat, serta mengembalikan daya fungsi mereka baik sebagai
anggota keluarga maupun warga masyarkat. Umumnya, rehabilitasi dilakukan dengan
cara penanaman nilai-nilai dalam masyarakat; peningkatan kesadaran mental,
sikap, dan tingkah laku; pemberian keterampilan yang berdaya-guna ekonomis,
penyaluran untuk dikembalikan ke masyarkat baik itu dengan cara mencari pekerjaan
atau melalui perkawinan; pengawasan setelah mereka disalurkan ke dalam
masyarkat; serta evaluasi atas hasil rehabilitasi tersebut.
Kesimpulan:
Sebagai penutup dari
tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa pelacuran merupakan suatu masalah sosial
yang terjadi ketika nilai-nilai dalam masyarakat, khususnya nilai kesusilaan,
tergeser oleh kepentingan yang bersifat ekonomis. Pergeseran tersebut terjadi ketika seorang
individu atau masyarakat tidak menyadari dan tidak peduli akan nilai-nilai
kehidupan yang telah disepakati bersama. Pelacuran yang terjadi karena hal
dasar seperti itu serta lebih mementingkan keuntungan ekonomis memiliki akibat
yang berdampak buruk bagi pelaku maupun massyarkat di sekitarnya apabila terus
dibiarkan. Untuk mengatasinya, diperlukan pengendalian sosial baik yang
bersifat sosiologis maupun yuridis agar dampak dari pelacuran tidak semakin
merugikan kehidupan masyarkat.
Sumber:
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali,
1986),
Drs. Muhammad Hawari, Pola Penanggulangan Pelacuran (Yogyakarta:
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial,
1986)
Prof.Dr.Sofyan S. Willis, M.Pd.2012.Remaja dan Masalahnya (Mengupas
berbagai bentuk kenakalan Remaja, Narkoba, Free Sex, dan
Pemecahannya.Bandung:ALFABETA
Dr. A.S. Alam, Pelacuran dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang
Eksploitasi Manusia oleh Manusia (Bandung: Alumni, 1984)
[3] Drs. Muhammad Hawari, Pola
Penanggulangan Pelacuran (Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 1986) hlm. 2
[4] Prof.Dr.Sofyan
S. Willis, M.Pd.2012.Remaja dan Masalahnya (Mengupas berbagai bentuk kenakalan
Remaja, Narkoba, Free Sex, dan Pemecahannya.Bandung:ALFABETA.hlm.27.
[5] Dr. A.S. Alam, Pelacuran
dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia (Bandung:
Alumni, 1984) hlm.39-40
[6]
Drs. Muhammad Hawari, Op.cit.,
hlm.12
[7] Mutia Irna Jayanthi dan
Ikram, Dampak Keberadaan Prostitusi Bagi Masyarakat (Studi Pada Cafe-Cafe di
Daerah Panjang Kota Bandar Lampung), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Lampung, hlm. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar