Sabtu, 24 Oktober 2015

“BISSU GAUL” (Reinvensi Budaya Kelompok Bissu di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan)



“BISSU GAUL”
(Reinvensi Budaya Kelompok Bissu di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan)
Sebutan Bissu dalam hal ini yaitu ditujukan kepada kelompok masyarakat Bugis yang berperan sebagai pemimpin dalam prosesi adat dan spiritual Bugis. Peran tersebut menempatkan Bissu sebagai tokoh sentral dalam prosesi adat. Keberadaan Bissu sudah ada sejak masa Bugis Klasik yang dapat dilacak dalam epos terpanjang La Galigo. Peran pentingnya bahkan sudah melampaui sejarah panjang dari kerajaan sebelum masuknya Islam hingga Islam berkembang di Sulawesi Selatan. Sosok bissu dalam hal ini sangat unik karena secara fisik ia adalah laki-laki dengan tingkah laku dan tutur kata yang menyerupai wanita. Sebagian besar bissu berjenis kelamin laki-laki, namun tidak berarti perempuan tidak memiliki hak menjadi seorang bissu. Namun, kemunculan awal bissu dalam catatan La Galigo menyebutkan bahwa bissu pada dasarnya berjenis kelamin perempuan.
Peran yang memunculkan bissu saat sekarang tidak lagi seperti masa lampau. Kemunculannya lebih banyak berupa atraksi yang tidak lagi memiliki nilai ritual.Bissu dibutuhkan hanya pada atraksinya. Bissu telah mengalami pergeseran peran karena makna upacara tradisional yang membawa posisi bissu menjadi penting. Keberhasilan bissu masih bisa bertahan hingga kini tidak lepas dari 3 faktor. Keseimbangan antara upacara, regenerasi, dan pendukung atau aktor kehadiran bissu adalah elemen penting dalam kelangsungan bissu. Faktor bertahan tersebut memungkinkan membuka jalan bagi pelestarian kelompok ini yaitu dengan cara mempertahankan bentuk upacara yang telah ada dan melakukan penyesuaian bentuk upacara. Hobsbawm dalam bukunya “The Invention of Tradition” menggagas untuk memunculkan kembali tradisi lama dalam masa kini dengan jalan melakukan beberapa perubahan (Hobsbwam,2003: 1). Demikian pula, terjadinya sintesa di antara elemen-elemen tadi menjadikan bissu masih bisa bertahan. Hal ini menunjukkan adanya relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau gejala sosial budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat (Ahimsa-Putra, 2007: 29). Relasi fungsional antara upacara tradisional kelompok bissu Pammana dan Relasi Sosial yang merupakan penyebab kelompok ini bertahan hingga kini.
Setting sosial-geografis dan Budaya Kabupaten Wajo: Ranah para Bissu
Wajo adalah salah satu Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan. Memiliki Luas sekitar 250.619 hektar yang terdiri atas 14 Kecamatan, 48 Kelurahan, dan 128 desa. Ibu Kota Kabupaten Wajo adalah Sengkang yang berjarak sekitar 200 Kilometer dari Makassar Ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis kabupaten Wajo terletak pada koordinat antara 30 derajat 39’ sampai 4 derajat 16’ lintang selatan dan 119 derajat 53’ sampai 120 derajat 27’ Bujur Timur. Sebelah barat kota Sengkang terletak Danau Tempe, sebelah timurnya terbentang gugusan gunung yang salah satu gunung terkenal yaitu Pattirosompe. Kabupaten Wajo bertetangga dengan Kabupaten lain seperti Bone disebelah timur, Soppeng di sebelah selatan, Sidrap disebelah barat, dan Luwu disebelah utara. Letak Kabupaten Wajo berada di tengah-tengah Sulawesi Selatan sehingga menjadikan tempat ini sebagai daerah strategis dalam bidang perdagangan dan wisata. Sebelah timur merupakan daerah pesisir pantai di Teluk bone membentang sekitar 110 km yang memiliki potensi ikan laut yang besar. Jarak antara Wajo dengan ibukota provinsi Sulawesi Selatan +- 240 km, dapat di tempuh dengan kendaraan darat +- 5 jam.
Religiositas Masyarakat Wajo
Agama utama di Wajo adalah islam yang dipeluk sebagian besar penduduknya. Pemeluk utama nya adalah orang Bugis yang telah lama mendiami Wajo. Sebelum ajaran Islam masuk di tempat ini, masyarakat Wajo menganut kepercayaan Bugis kuno yang berhubungan dengan animisme dan dinamisme. Penduduk Wajo dikenal sebagai muslim yang taat menjalankan ajaran agama islam. Islam di Wajo sudah ada sekitar empat ratus tahun yang lalu. Awal mulanya penduduk Wajo memeluk Islam pada saat raja atau yang bergelar Arung Matowa Wajo XII La Sungkuru Patau Sultan Abdur Rahman bertahta. Ajaran Islam diterima dengan cepat di Wajo atas keihklasan dan kesabaran Muballig Datu Sulaiman dalam mengajarkan agama ini. Setelah ratusan tahun perjalanan islam di Wajo yang telah mengalami pasang surut, cahaya islam kembali bersinar setelah didirikan pondok pesantren As’Adiyah antara tahun 1929-1930 di Sengkang (Pasanreseng, 1992: 94). Keberadaan pesantren ini turut mewarnai kehidupan beragama di Wajo karena mubalighnya turun langsung melakukan dakwah ke hampir semua masjid yang ada di daerah ini. Di samping itu, pesantren ini memiliki tokoh agama yang kharismatik dan disayangi oleh masyarakat Wajo.
Kehidupan Sosial Ekonomi
Sengkang, ibukota kabupaten Wajo, dikenal pula dengan industri kain sutera. Industri ini turut membantu mengembangkan ekonomi daerah ini. Masyarakat memproduksi sendiri kain sutera dalam bentuk sarung dan kain untuk bahan pakaian. Rumah masyarakat wajo kebanyakan rumah panggung yang fungsinya sekaligus sebagai tempat memproduksi kain sutera. Alat tenun ditempatkan pada bagian bawah rumah. Sementara pada bagian atas ditempati sebagai tempat tinggal. Alat tenun yang digunakan terdiri atas dua jenis. Jenis yang pertama masih tradisional dan yang kedua alat tenun bukan mesin. Sarung yang ditenun dengan menggunakan alat tenun tradisional harganya lebih mahal dibandingkan dengan yang diproduksi dengan menggunakan alat tenun bukan mesin. Produksi sarung sutera biasanya dijual langsung oleh pedagang-pedagang ke daerah-daerah tetangga Wajo hingga luar pulau Sulawesi.
Bissu Selayang Pandang
Ada beberapa pendapat mengenai istilah bissu. Istilah pertama menganggap berasal dari kata bessi dalam bahasa Bugis berarti bersih (Lathief, 2004: 2). Dianggap bersih karena mereka tidak mengalami haid, suci, tidak memiliki payudara. Pendapat lain menyebutkan bahwa bissu berasal dari kata bismillah yang dianggap sebagai pembuka atau awal dalam melakukan sesuatu. Pendapat ini lemah karena budaya bissu sudah ada jauh sebelum pengaruh islam masuk di Sulawesi Selatan. Pendapat selanjutnya, kata bissu mendapatkan pengaruh dari agama hindu dimana pemimpin ritual atau pendeta hindu disebut biksu (Sumange, 2003:11). Sumange menduga istilah biksu merupakan upaya B.F Matthes untuk mengaburkan adat bugis. Pendapat ini juga tidak memiliki dasar yang kuat karena belum ada bukti-bukti yang kuat mengenai pengaruh Hindu di Sulawesi Selatan. Jadi asal kata istilah bissu belum diketahui secara pasti yang ada hanya semacam spekulasi istilah saja.
Reinvensi Budaya Kelompok Bissu
Aktor yang Menghadirkan Bissu
Berbagai upacara yang melibatkan bissu masih ditemukan hingga saat ini. Bissu tidak tampil atas prakarsa sendiri melainkan dilakukan oleh beberapa aktor yang masih memerlukannya. Kehadiran bissu masih merupakan hal penting dalam setiap pelaksanaan ritual yang dilakukan. Aktor yang masih memerlukan kehadiran bissu dalam upacara atau ritual keluarga adalah keluarga istana dan masyarakat yang berprofesi sebagai petani, nelayan dan dukun. Selain itu dewan adat dan pemerintah daerah juga merupakan aktor yang memunculkan bissu dalam berbagai kegiatan. Para aktor tersebut memperlakukan bissu sebagai tokoh sentral, sebagai pelengkap, penasehat ritual, dan sekaligus penghibur. Terdapat pula stigma pada pemunculan bissu ditengah masyarakat wajo. Penyimpangan yang dilakukan oleh bissu bukan hanya dianggap sebagai tindakan yang menyalahi kodrat akan tetapi malah dianggap berbenturan dengan syariah islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bugis sekarang. Namun para tokoh yang memunculkan bissu memiliki pemaknaan tersendiri dalam pelibatan bissu pada upacara atau ritual yang mereka gelar. Pendukung bissu dari kalangan istana adalah bangsawan yang memerlukan bissu dalam berbagai upacara yang mereka gelar.
Upacara yang Menampilkan Bissu
Di masa lalu atraksi yang dilakonkan oleh bissu secara khusus merupakan tugas atau pengabdian kepada istana. Segala upacara atau ritual yang menampilkan bissu adalah merupakan kegiatan resmi dan harus diketahui oleh keluarga istana. Bissu merupakan bagian dari istana sehingga ritual yang dilakoninya merupakan kegiatan resmi istana. Namun yang terjadi saat ini adalah beberapa upacara yang menampilkan bissu tidak lagi didominasi oleh kalangan istana. Telah terjadi pergeseran pemaknaan upacara atau ritual akibat berubahnya sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang selalu berubah. Pelaksanaan upacara atau ritual tidak lagi merupakan persembahan untuk istana melainkan untuk menopang ekonomi bissu, hiburan, dan pelengkap acara yang tidak ada hubungannya dengan upacara bissu. Beberapa bagian dari upacara dipangkas atau dihilangkan sama sekali. Kondisi ini memunculkan komersialisasi budaya sehingga kemunculan bissu khususnya bissu Pammana ditengah-tengah masyarakat dapat dibedakan menjadi dua yaitu upacara non komersil orientasi budaya dan komersil orientasi ekonomi.
Keberlangsungan Bissu
Diperkirakan  bissu sudah ada ratusan yang lalu sebelum masuknya islam di Sulawesi Selatan. Bahkan seorang antropolog Amerika memperkirakan bahwa bissu sudah ada lebih dari enam ratus tahun yang lalu (Kennedy, 1993).
Regenerasi Bissu
Faktor regenerasi bissu adalah salah satu unsur bertahannya bissu hingga kini. Dalam beberapa tempat terdapatnya bissu ditemukan aturan untuk menjadi bissu yang sangat rumit sehingga turut mempengaruhi minimnya regenerasi bissu. Bissu di Bone dan Segeri Pangkep misalnya menerapkan aturan yang berat. Calon bissu harus melalui prosesi irebba.Lain halnya dengan bissu di Wajo khususnya kelompok bissu Pammana. Aturan untuk menjadi bissu berbeda dengan yang ada di Bone. Aturan di Wajo lebih longgar karena tidak melalui proses irebba.
Sebagai konsekuensi aturan untuk menjadi bissu seperti yang dipaparkan yaitu memiliki dua hal yang berbeda. Pertama, mengancam regenerasi bissu ke arah di ambang kepunahan seperti yang terjadi pada Bissu Bone. Bissu di tempat ini kini jumlahnya tinggal satu orang saja yang seharusnya berjumlah empat puluh orang. Jumlah ini bisa saja bertambah apabila ada yang calon bissu yang berani melewati proses irebba. Kedua, peluangnya memudahkan untuk menjadi bissu seperti bissu yang terdapat di Wajo khususnya bissu Pasmana. Regenerasi bissu ditempat ini sempat terputus dengan bergantinya sistem pemerintahan dari bentuk kerajaan menjadi kabupaten sekitar tahun 1940-an. Namun setelah pelantikan datu atau raja yang digelar pada tahun 2004 lalu yang turut pula melantik angkuru bissu Pammana, proses regenerasi bissu kembali berlanjut di abad ini. Dengan demikian kelompok bissu, Pammana berdasarkan sudut pandang regenerasi bissu belum dianggap terancam punah.
Kebutuhan Upacara
Fungsi upacara yang melibatkan bissu bermakna strategis bagi datu dan keluarga istana. Untuk itu bissu sering tampil menjadi tokoh sentral dalam upacara atau ritual yang digelar oleh datu atau keluarga istana. Datu atau raja merupakan pemimpin tradisional yang memiliki kekuasaan atas wilayah dan masyarakat di daerah kekuasaannya. Dalam konsep pemimpin tradisional yang digagas oleh Koentjaraningrat diperkenalkan istilah kekuasaan dalam arti luas yang terdiri atas empat komponen kekuasaan. Komponen tersebut yaitu kharisma, keabsahan, kewibawaan, dan kekuasaan dalam arti khusus (Koentjaraningrat, 1999:225). Kekuasaan dalam arti khusus maksudnya yaitu kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi. Ke empat komponen tersebut menjadi syarat bagi pemimpin tradisional untuk melanggengkan kekuasaannya. Bissu menjadi sarana bagi datu atau keluarga istana untuk menjustifikasi kekuasaan mereka. Upacara atau ritual yang dipimpin oleh bissu salah satu fungsinya yaitu mengumumkan kharisma dan keabsahan atas kekuasaan yang dimiliki oleh seorang datu atau keluarga istana. Upacara yang ditampilkan oleh bissu umumnya memiliki bentuk yang sama. Begitu pula dengan benda-benda ritual penggunaannya juga sama. Benda-benda yang digunakan banyak terbuat dari gerabah dan logam.

Komersialisasi Upacara
Dengan melakukan reinvensi kultural, upacara yang melibatkan bissu lebih dikenal dan diterima oleh masyarakat. Tentunya reinvensi dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti upacara yang ditampilkan merupakan tiruan dari aslinya, dimasukkan beberapa variasi, disajikan secara singkat atau dipadatkan dari bentuk aslinya, murah harganya dan nilai sakralnya dihilangkan. Konsekuensinya adalah pertama pemuka agama akan dapat bersikap lunak akan upacara yang menampilkan bissu. Meskipun tidak berarti dapat menerima secara keseluruhan karena seorang bissu masih di anggap orang yang menyalahi kodrat. Kedua, pendukung utama bissu dari keluarga istana akan melontarkan kecaman karena upacara yang menampilkan bissu sifatnya primer atau hanya dapat dipentaskan di depan raja atau keluarga istana. Namun bagaimanapun bentuk konsekuensi nya yang akan terjadi kiranya perlu di pahami dan dimengerti keberlangsungan bertahannya bissu bahwa bissu merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Kearifan kita dibutuhkan untuk turut memberikan ruang-ruang kepada bissu agar dapat hidup dengan layak dan dapat diterima oleh masyarakat serta bissu masih dapat bertahan hingga ke generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar