“BISSU GAUL”
(Reinvensi Budaya Kelompok Bissu di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan)
(Reinvensi Budaya Kelompok Bissu di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan)
Sebutan Bissu dalam hal ini yaitu ditujukan kepada kelompok
masyarakat Bugis yang berperan sebagai pemimpin dalam prosesi adat dan
spiritual Bugis. Peran tersebut menempatkan Bissu sebagai tokoh sentral dalam
prosesi adat. Keberadaan Bissu sudah ada sejak masa Bugis Klasik yang dapat
dilacak dalam epos terpanjang La Galigo. Peran pentingnya bahkan sudah
melampaui sejarah panjang dari kerajaan sebelum masuknya Islam hingga Islam
berkembang di Sulawesi Selatan. Sosok bissu dalam hal ini sangat unik karena
secara fisik ia adalah laki-laki dengan tingkah laku dan tutur kata yang
menyerupai wanita. Sebagian besar bissu berjenis kelamin laki-laki, namun tidak
berarti perempuan tidak memiliki hak menjadi seorang bissu. Namun, kemunculan
awal bissu dalam catatan La Galigo menyebutkan bahwa bissu pada dasarnya
berjenis kelamin perempuan.
Peran yang memunculkan bissu saat sekarang tidak lagi seperti masa
lampau. Kemunculannya lebih banyak berupa atraksi yang tidak lagi memiliki
nilai ritual.Bissu dibutuhkan hanya pada atraksinya. Bissu telah mengalami
pergeseran peran karena makna upacara tradisional yang membawa posisi bissu
menjadi penting. Keberhasilan bissu masih bisa bertahan hingga kini tidak lepas
dari 3 faktor. Keseimbangan antara upacara, regenerasi, dan pendukung atau
aktor kehadiran bissu adalah elemen penting dalam kelangsungan bissu. Faktor
bertahan tersebut memungkinkan membuka jalan bagi pelestarian kelompok ini
yaitu dengan cara mempertahankan bentuk upacara yang telah ada dan melakukan
penyesuaian bentuk upacara. Hobsbawm dalam bukunya “The Invention of
Tradition” menggagas untuk memunculkan kembali tradisi lama dalam masa
kini dengan jalan melakukan beberapa perubahan (Hobsbwam,2003: 1). Demikian
pula, terjadinya sintesa di antara elemen-elemen tadi menjadikan bissu masih
bisa bertahan. Hal ini menunjukkan adanya relasi fungsional antara suatu unsur
budaya atau gejala sosial budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam
masyarakat (Ahimsa-Putra, 2007: 29). Relasi fungsional antara upacara tradisional
kelompok bissu Pammana dan Relasi Sosial yang merupakan penyebab kelompok ini
bertahan hingga kini.
Setting sosial-geografis dan Budaya Kabupaten Wajo: Ranah para
Bissu
Wajo adalah salah satu Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.
Memiliki Luas sekitar 250.619 hektar yang terdiri atas 14 Kecamatan, 48
Kelurahan, dan 128 desa. Ibu Kota Kabupaten Wajo adalah Sengkang yang berjarak
sekitar 200 Kilometer dari Makassar Ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Secara
geografis kabupaten Wajo terletak pada koordinat antara 30 derajat 39’ sampai 4
derajat 16’ lintang selatan dan 119 derajat 53’ sampai 120 derajat 27’ Bujur
Timur. Sebelah barat kota Sengkang terletak Danau Tempe, sebelah timurnya
terbentang gugusan gunung yang salah satu gunung terkenal yaitu Pattirosompe.
Kabupaten Wajo bertetangga dengan Kabupaten lain seperti Bone disebelah timur,
Soppeng di sebelah selatan, Sidrap disebelah barat, dan Luwu disebelah utara.
Letak Kabupaten Wajo berada di tengah-tengah Sulawesi Selatan sehingga
menjadikan tempat ini sebagai daerah strategis dalam bidang perdagangan dan
wisata. Sebelah timur merupakan daerah pesisir pantai di Teluk bone membentang
sekitar 110 km yang memiliki potensi ikan laut yang besar. Jarak antara Wajo
dengan ibukota provinsi Sulawesi Selatan +- 240 km, dapat di tempuh dengan
kendaraan darat +- 5 jam.
Religiositas Masyarakat Wajo
Agama utama di Wajo adalah islam yang dipeluk sebagian besar
penduduknya. Pemeluk utama nya adalah orang Bugis yang telah lama mendiami
Wajo. Sebelum ajaran Islam masuk di tempat ini, masyarakat Wajo menganut
kepercayaan Bugis kuno yang berhubungan dengan animisme dan dinamisme. Penduduk
Wajo dikenal sebagai muslim yang taat menjalankan ajaran agama islam. Islam di
Wajo sudah ada sekitar empat ratus tahun yang lalu. Awal mulanya penduduk Wajo
memeluk Islam pada saat raja atau yang bergelar Arung Matowa Wajo XII La
Sungkuru Patau Sultan Abdur Rahman bertahta. Ajaran Islam diterima dengan cepat
di Wajo atas keihklasan dan kesabaran Muballig Datu Sulaiman dalam mengajarkan
agama ini. Setelah ratusan tahun perjalanan islam di Wajo yang telah mengalami
pasang surut, cahaya islam kembali bersinar setelah didirikan pondok pesantren
As’Adiyah antara tahun 1929-1930 di Sengkang (Pasanreseng, 1992: 94).
Keberadaan pesantren ini turut mewarnai kehidupan beragama di Wajo karena
mubalighnya turun langsung melakukan dakwah ke hampir semua masjid yang ada di
daerah ini. Di samping itu, pesantren ini memiliki tokoh agama yang kharismatik
dan disayangi oleh masyarakat Wajo.
Kehidupan Sosial Ekonomi
Sengkang, ibukota kabupaten Wajo, dikenal pula dengan industri kain
sutera. Industri ini turut membantu mengembangkan ekonomi daerah ini.
Masyarakat memproduksi sendiri kain sutera dalam bentuk sarung dan kain untuk
bahan pakaian. Rumah masyarakat wajo kebanyakan rumah panggung yang fungsinya
sekaligus sebagai tempat memproduksi kain sutera. Alat tenun ditempatkan pada
bagian bawah rumah. Sementara pada bagian atas ditempati sebagai tempat
tinggal. Alat tenun yang digunakan terdiri atas dua jenis. Jenis yang pertama
masih tradisional dan yang kedua alat tenun bukan mesin. Sarung yang ditenun
dengan menggunakan alat tenun tradisional harganya lebih mahal dibandingkan
dengan yang diproduksi dengan menggunakan alat tenun bukan mesin. Produksi
sarung sutera biasanya dijual langsung oleh pedagang-pedagang ke daerah-daerah
tetangga Wajo hingga luar pulau Sulawesi.
Bissu Selayang Pandang
Ada beberapa pendapat mengenai istilah bissu. Istilah pertama
menganggap berasal dari kata bessi dalam bahasa Bugis berarti bersih (Lathief,
2004: 2). Dianggap bersih karena mereka tidak mengalami haid, suci, tidak
memiliki payudara. Pendapat lain menyebutkan bahwa bissu berasal dari kata
bismillah yang dianggap sebagai pembuka atau awal dalam melakukan sesuatu.
Pendapat ini lemah karena budaya bissu sudah ada jauh sebelum pengaruh islam
masuk di Sulawesi Selatan. Pendapat selanjutnya, kata bissu mendapatkan pengaruh
dari agama hindu dimana pemimpin ritual atau pendeta hindu disebut biksu
(Sumange, 2003:11). Sumange menduga istilah biksu merupakan upaya B.F Matthes
untuk mengaburkan adat bugis. Pendapat ini juga tidak memiliki dasar yang kuat
karena belum ada bukti-bukti yang kuat mengenai pengaruh Hindu di Sulawesi
Selatan. Jadi asal kata istilah bissu belum diketahui secara pasti yang ada
hanya semacam spekulasi istilah saja.
Reinvensi Budaya Kelompok Bissu
Aktor yang Menghadirkan Bissu
Berbagai upacara yang melibatkan bissu masih ditemukan hingga saat
ini. Bissu tidak tampil atas prakarsa sendiri melainkan dilakukan oleh beberapa
aktor yang masih memerlukannya. Kehadiran bissu masih merupakan hal penting
dalam setiap pelaksanaan ritual yang dilakukan. Aktor yang masih memerlukan
kehadiran bissu dalam upacara atau ritual keluarga adalah keluarga istana dan
masyarakat yang berprofesi sebagai petani, nelayan dan dukun. Selain itu dewan
adat dan pemerintah daerah juga merupakan aktor yang memunculkan bissu dalam berbagai
kegiatan. Para aktor tersebut memperlakukan bissu sebagai tokoh sentral,
sebagai pelengkap, penasehat ritual, dan sekaligus penghibur. Terdapat pula
stigma pada pemunculan bissu ditengah masyarakat wajo. Penyimpangan yang
dilakukan oleh bissu bukan hanya dianggap sebagai tindakan yang menyalahi
kodrat akan tetapi malah dianggap berbenturan dengan syariah islam yang dianut
oleh sebagian besar masyarakat Bugis sekarang. Namun para tokoh yang
memunculkan bissu memiliki pemaknaan tersendiri dalam pelibatan bissu pada
upacara atau ritual yang mereka gelar. Pendukung bissu dari kalangan istana
adalah bangsawan yang memerlukan bissu dalam berbagai upacara yang mereka
gelar.
Upacara yang Menampilkan Bissu
Di masa lalu atraksi yang dilakonkan oleh bissu secara khusus
merupakan tugas atau pengabdian kepada istana. Segala upacara atau ritual yang
menampilkan bissu adalah merupakan kegiatan resmi dan harus diketahui oleh
keluarga istana. Bissu merupakan bagian dari istana sehingga ritual yang
dilakoninya merupakan kegiatan resmi istana. Namun yang terjadi saat ini adalah
beberapa upacara yang menampilkan bissu tidak lagi didominasi oleh kalangan
istana. Telah terjadi pergeseran pemaknaan upacara atau ritual akibat
berubahnya sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik dan keadaan
sosial ekonomi masyarakat yang selalu berubah. Pelaksanaan upacara atau ritual
tidak lagi merupakan persembahan untuk istana melainkan untuk menopang ekonomi
bissu, hiburan, dan pelengkap acara yang tidak ada hubungannya dengan upacara
bissu. Beberapa bagian dari upacara dipangkas atau dihilangkan sama sekali.
Kondisi ini memunculkan komersialisasi budaya sehingga kemunculan bissu
khususnya bissu Pammana ditengah-tengah masyarakat dapat dibedakan menjadi dua
yaitu upacara non komersil orientasi budaya dan komersil orientasi ekonomi.
Keberlangsungan Bissu
Diperkirakan bissu sudah ada
ratusan yang lalu sebelum masuknya islam di Sulawesi Selatan. Bahkan seorang
antropolog Amerika memperkirakan bahwa bissu sudah ada lebih dari enam ratus tahun
yang lalu (Kennedy, 1993).
Regenerasi Bissu
Faktor regenerasi bissu adalah salah satu unsur bertahannya bissu
hingga kini. Dalam beberapa tempat terdapatnya bissu ditemukan aturan untuk
menjadi bissu yang sangat rumit sehingga turut mempengaruhi minimnya regenerasi
bissu. Bissu di Bone dan Segeri Pangkep misalnya menerapkan aturan yang berat.
Calon bissu harus melalui prosesi irebba.Lain halnya dengan bissu di Wajo
khususnya kelompok bissu Pammana. Aturan untuk menjadi bissu berbeda dengan
yang ada di Bone. Aturan di Wajo lebih longgar karena tidak melalui proses
irebba.
Sebagai konsekuensi aturan untuk menjadi bissu seperti yang
dipaparkan yaitu memiliki dua hal yang berbeda. Pertama, mengancam regenerasi
bissu ke arah di ambang kepunahan seperti yang terjadi pada Bissu Bone. Bissu
di tempat ini kini jumlahnya tinggal satu orang saja yang seharusnya berjumlah
empat puluh orang. Jumlah ini bisa saja bertambah apabila ada yang calon bissu
yang berani melewati proses irebba. Kedua, peluangnya memudahkan untuk menjadi
bissu seperti bissu yang terdapat di Wajo khususnya bissu Pasmana. Regenerasi
bissu ditempat ini sempat terputus dengan bergantinya sistem pemerintahan dari
bentuk kerajaan menjadi kabupaten sekitar tahun 1940-an. Namun setelah
pelantikan datu atau raja yang digelar pada tahun 2004 lalu yang turut pula
melantik angkuru bissu Pammana, proses regenerasi bissu kembali berlanjut di
abad ini. Dengan demikian kelompok bissu, Pammana berdasarkan sudut pandang
regenerasi bissu belum dianggap terancam punah.
Kebutuhan Upacara
Fungsi upacara yang melibatkan bissu bermakna strategis bagi datu
dan keluarga istana. Untuk itu bissu sering tampil menjadi tokoh sentral dalam
upacara atau ritual yang digelar oleh datu atau keluarga istana. Datu atau raja
merupakan pemimpin tradisional yang memiliki kekuasaan atas wilayah dan
masyarakat di daerah kekuasaannya. Dalam konsep pemimpin tradisional yang
digagas oleh Koentjaraningrat diperkenalkan istilah kekuasaan dalam arti luas
yang terdiri atas empat komponen kekuasaan. Komponen tersebut yaitu kharisma,
keabsahan, kewibawaan, dan kekuasaan dalam arti khusus (Koentjaraningrat,
1999:225). Kekuasaan dalam arti khusus maksudnya yaitu kemampuan untuk
mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu
sistem sanksi. Ke empat komponen tersebut menjadi syarat bagi pemimpin
tradisional untuk melanggengkan kekuasaannya. Bissu menjadi sarana bagi datu
atau keluarga istana untuk menjustifikasi kekuasaan mereka. Upacara atau ritual
yang dipimpin oleh bissu salah satu fungsinya yaitu mengumumkan kharisma dan
keabsahan atas kekuasaan yang dimiliki oleh seorang datu atau keluarga istana.
Upacara yang ditampilkan oleh bissu umumnya memiliki bentuk yang sama. Begitu
pula dengan benda-benda ritual penggunaannya juga sama. Benda-benda yang
digunakan banyak terbuat dari gerabah dan logam.
Komersialisasi Upacara
Dengan melakukan reinvensi kultural, upacara yang melibatkan bissu
lebih dikenal dan diterima oleh masyarakat. Tentunya reinvensi dilakukan dengan
memperhatikan berbagai aspek seperti upacara yang ditampilkan merupakan tiruan
dari aslinya, dimasukkan beberapa variasi, disajikan secara singkat atau
dipadatkan dari bentuk aslinya, murah harganya dan nilai sakralnya dihilangkan.
Konsekuensinya adalah pertama pemuka agama akan dapat bersikap lunak akan
upacara yang menampilkan bissu. Meskipun tidak berarti dapat menerima secara
keseluruhan karena seorang bissu masih di anggap orang yang menyalahi kodrat.
Kedua, pendukung utama bissu dari keluarga istana akan melontarkan kecaman
karena upacara yang menampilkan bissu sifatnya primer atau hanya dapat
dipentaskan di depan raja atau keluarga istana. Namun bagaimanapun bentuk
konsekuensi nya yang akan terjadi kiranya perlu di pahami dan dimengerti
keberlangsungan bertahannya bissu bahwa bissu merupakan warisan budaya yang
tidak ternilai harganya. Kearifan kita dibutuhkan untuk turut memberikan
ruang-ruang kepada bissu agar dapat hidup dengan layak dan dapat diterima oleh
masyarakat serta bissu masih dapat bertahan hingga ke generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar