TEKNIK FASILITASI DAN REHABILITASI SOSIAL
“HUMAN TRAFICKING”
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Di Indonesia masalah perdagangan orang masih menjadi
salah satu ancaman besar dimana setiap tahun hampir ribuan perempuan dan anak
di Indonesia yang harus menjadi korban trafficking yang terkadang tidak
pernah merasa bahwa dirinya adalah korban, pemasalahan ini bukanlah masalah
baru dan tidak hanya terjadi di Indonesia saja melainkan di Negara-negara lain
juga terjadi. Bahkan masalah perdagangan orang sebenarnya telah terjadi sejak
abad ke empat dimana pada masa itu perdagangan orang masih merupaan hal biasa
terjadi dan bukanlah merupakan bentuk suatu kejahatan dimana saat itu masih
marak-maraknya perbudakan manusia dimanaseorang manusia dapat diperjual belikan
dan dijadikan sebagai objek keadaan seperti itu terjadi dan marak karena masih
kurangnya pemahaman bahwa setiap manusia memiliki harkat dan derajat yang sama
tanpa adanya perbedaan satu sama lain. dan hal itu terus mengalami perkembangan
sampai dengan sekarang tanpa dapat dicegah.
Merupakan suatu permasalahan lama yang kurang
mendapatkan perhatian sehingga keberadaannya tidak begitu nampak di permukaan
padahal dalam prakteknya sudah merupakan permasalahan sosial yang berangsur
angsur menjadi suatu kejahatan masyarakat dimana kedudukan manusia sebagai
obyek sekaligus sebagai subyek dari trafficking. Selain masalah utama
Kurangnya upaya hokum pencegahan yang kuat bagi para pelaku, masalah ini juga
didasari oleh lemahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk mengerti dan paham
akan adanya bahaya yang ditimbulkan dari praktek trafficking.
Lemahnya tingkat kesadaran masyarakat ini tentunya
akan semakin memicu praktik trafficking untuk terus berkembang. Dalam
hal ini maka selain mendesak pemerintah untuk teru mengupayakan adanya bentuk
formal upaya perlindungan hukum bagi korban trafficking dan tindakan
tegas bagi pelaku maka diperlukan juga kesadaran masyarakat agar masyarakat
juga berperan aktif dalam memberantas praktek trafficking sehingga
tujuan pemberantasan trafficking dapat tercapai dengan maksimal dengan
adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat Dalam sejarah
perkembangan kejahatan, perdagangan perempuan dan anak-anak termasuk didalam
kejahatan yang terorganisir (organized crime) yang artinya suatu
kejahatan yang dilakukan dalam suatu jaringan yang terorganisir tapi dalam
suatu organisasi bawah tanah dan dilakukan dengan cara canggih karena pengaruh
kemajuan tekhnologi informasi dan transformasi sehingga batas Negara hampir
tidak dikenal apalagi dengan pengawasan yang tidak ketat di daerah perbatasan
atau tempat pemeriksaan imigrasi juga mempermudah terjadinya tindak pidana
perdagangan orang dan sifatnya lintas Negara. Perdagangan orang merupakan salah
satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang
terutama perempuan dan anak termasuk kejahatan dan pelanggaran hak asasi
manusia. dan Isu perdagangan manusia atau trafficking khususnya
perempuan dan anak beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai
media massa. Media massa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut
saja, akan tetapi juga lika- liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat
penegak hukum terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi
permasalahan tersebut.
Kasus- kasus perdagangan manusia yang cukup mendapat
sorotan media beberapa waktu yang lalu misalnya kasus penjualan tujuh orang
perempuan Cianjur yang diperdagangkan sebagai pekerja seks komersial (PSK) ke
Pekanbaru, Riau yang berhasil diselamatkan oleh Polres Cianjur beberapa waktu
yang lalu. Upaya lainnya adalah upaya penyelamatan terhadap dua orang
perempuan korban perdagangan perempuan yang dibebaskan oleh reporter SCTV dari Tekongnya di Malaysia.
Dari kasus-kasus tersebut telah menguatkan bahwa trafficking merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan salah satu
masalah yang perlu penanganan mendesak bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.
Karena hal ini mempengaruhi citra bangsa Indonesia itu sendiri dimata dunia
internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah
menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ketiga sebagai pemasok
perdagangan perempuan dan anak.
b.
Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mengulas secara singkat
mengenai :
1. Apa itu perdagangan manusia (Human Trafficking)?
2. Bagaimana bentuk perdagangan manusia (Human Trafficking)?
3. Apakah faktor-faktor pendorong sehingga terjadinya perdagangan
manusia (Human Trafficking)?
4. Bagaimana Undang-Undang tentang Perdagangan Manusia?
5. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan perdagangan manusia
(Human Trafficking)?
6. Apakah ada hambatan dalam pemberantasan Human Trafficking?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Human Trafficking (Perdagangan Manusia)
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
mendefinisikan trafficking sebagai :
Perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan
kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran
atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas
orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah,
Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap Manusia, khususnya perempuan
dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).
Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa istilah trafficking merupakan:
a) Pengertian
trafficking dapat mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan
memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat
tinggalnya/keluarganya. Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud tidak
harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.
b) Meskipun
trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut
sama sekali tidak menjadi relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk
membenarkan trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau korban
berada dalam posisi tidak berdaya. Misalnya karena terjerat hutang, terdesak
oleh kebutuhan ekonomi, dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan
pekerjaan lain, ditipu, atau diperdaya.
c) Tujuan
trafficking adalah eksploitasi, terutama tenaga kerja (dengan menguras habis
tenaga yang dipekerjakan) dan eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan
kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja
yang yang bersangkutan dalam transaksi seks).
Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman (GAATW) mendefinisikan
perdagangan (trafficking):
Semua usaha atau tindakan yang
berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau
penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk
pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang
dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau
tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif)
dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain
dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan
hutang pertama kali.
Dari definisi ini, dapat disimpulkan
bahwa istilah perdagangan (trafficking) mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Rekrutmen dan transportasi manusia
2. Diperuntukkan bekerja atau
jasa/melayani
3. Untuk kepentingan pihak yang
memperdagangkan
B. Bentuk-Bentuk
Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
Bentuk-bentuk perdagangan manusia antara lain;
1. Sebagai
pembantu rumah tangga, dengan alasan krisis ekonomi
2. Sebagai
wanita penghibur, komoditas seksual dan pornografi
3. Sebagai
pengemis, pengamen atau pekerja jalanan lainnya
4. Sebagai
istri atau pengantin pesanan, kemudian dieksploitasi
5. Sebagai alat
bayar hutang
6. Sebagai
perantara perdagangan narkotika
7. Sebagai
obyek percobaan di bidang ilmu pengetahuan (kedokteran) untuk pencangkokan
organ tubuh
8. Adopsi palsu
9.
Pedofilia (orientasi seksual yang obyeknya anak-anak)
Dengan modus operasinya sebagai berikut :
1. Ancaman dan
pemaksaan
2. Penipuan dan
kecurangan
3. Penyalahgunaan
kekuasaan
4. Berkedok
mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment
C. Faktor Penyebab Human Trafficking
Tidak ada satu pun yang merupakan
sebab khusus terjadinya trafficking manusia di Indonesia. Trafficking disebabkan
oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan
yang berbeda-beda. Termasuk ke dalamnya adalah:
1.
Kemiskinan
Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin terus
meningkat dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun 1999, walaupun
berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun 2002, kemiskinan
telah mendorong anak-anak untuk tidak bersekolah sehingga kesempatan untuk
mendapatkan keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks
komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah
pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian ibu sebagai tenaga
kerja wanita yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga
beresiko menjadi korban perdagangan manusia.
a)
Keinginan cepat kaya
Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan
kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan
mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong
mereka masuk dalam dunia prostitusi.
b)
Pengaruh sosial budaya
Disini misalnya, budaya pernikahan di usia muda yang
sangat rentan terhadap perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi
seksual komersial. Berdasarkan UU Perkawinan No.1/1974, perempuan Indonesia
diizinkan untuk menikah pada usia 16 tahun atau lebih muda jika mendapat izin
dari pengadilan. Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini masih berlanjut
dengan persentase 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai usia 18 tahun dan
21,5% sebelum mencapai usia 16 tahun. Tradisi budaya pernikahan dini
menciptakan masalah sosio-ekonomi untuk pihak lelaki maupun perempuan dalam
perkawinan tersebut. Tetapi implikasinya terutama terlihat jelas bagi
gadis/perempuan. Masalah-masalah yang mungkin muncul bagi perempuan dan gadis
yang melakukan pernikahan dini antara lain: Dampak buruk pada kesehatan
(kehamilan prematur, penyebaran HIV/AIDS), pendidikan terhenti, kesempatan
ekonomi terbatas, perkembangan pribadi terhambat dan tingkat perceraian yang
tinggi.
Masing-masing isu diatas adalah masalah sosial yang
berkenaan dengan kesejahteraan anak perempuan khususnya penting dalam hal
kerentanan terhadap perdagangan. Hal ini dikarenakan:
1. Perkembangan
pribadi yang terhambat, membuat banyak gadis tidak mempunyai bekal keterampilan
kerja yang cukup berkembang, sehingga mereka akan kesulitan untuk berunding
mengenai kodisi dan kontrak kerja, atau untuk mencari bantuan jika mengalami
kekerasan dan eksploitasi.
2. Keterbatasan
pendidikan, mereka sering rentan terhadap pekerjaan yang eksploitatif dan
perdagangan karena mereka umumnya tidak terlalu paham hak-haknya.
3. Peluang
ekonomi yang terbatas, mengingat terbatasnya pilihan ekonomi dan kekuatan
tawar-menawar mereka, perempuan muda rentan terhadap pekerjaan yang
eksploitatif dan perdagangan.
c)
Kurangnya pencatatan kelahiran
Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak
memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak
dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang
diberi hukum karena dimata negara secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya
registrasi kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi
perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran
asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja di luar
negeri. Contoh, seperti yang dikemukakan dalam bagian Kalimantan Barat dari
laporan ini (bagian VF), agen yang sah maupun gelap memakai kantor imigrasi di
Entikong, Kalimantan Barat, untuk memproses paspor palsu bagi gadis-gadis di
bawah umur.
d) Korupsi dan
lemahnya penegakan hukum
Korupsi di Indonesia telah menjadi suatu yang lazim
dalam kehidupan sehari-hari, karena baik kalangan atas maupun bawah telah
melakukan praktik korupsi ini. Karena itulah, korupsi memainkan peran integral
dalam memfasilitasi perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, disamping
dalam menghalangi penyelidikan dan penuntutan kasus perdagangan. Mulai dari
biaya illegal dan pemalsuan dokumen. Dampak korupsi ini terhadap buruh migran
perempuan dan anak harus dipelajari dari umur mereka yang masih muda dan lugu,
yang tidak tahu bagaimana cara menjaga diri di kota-kota besar karena mereka
tidak terbiasa dan sering malu untuk mencari bantuan. Tidak peduli berapa usia
dan selugu apa pun mereka, mereka yang berimigrasi dengan dokumen palsu takut
status illegal mereka akan membuat mereka jatuh ke dalam kesulitan lebih jauh
dengan pihak berwenang atau dapat dideportasi. Pelaku perdagangan memanfaatkan
ketakutan ini, untuk terus mengeksploitasi para perempuan dan proyek. Masalah
lain yaitu lemahnya hukum di Indonesia.
Untuk penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus
perdagangan, sistem hukum Indonesia sampai sekarang masih lemah, lamban dan
mahal. Sangat sedikit transparansi, sehingga hanya sedikit korban yang
mempercayakan kepentingan mereka kepada sistem tersebut. Perilaku kriminal
memiliki sumber daya dan koneksi untuk memanfaatkan sistem tersebut. Akibatnya,
banyak korban perdagangan yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui proses
hukum. Hal ini mengakibatkan praktik pedagangan/trafficking semakin meningkat
dan masih berlangsung.
e) Media massa
Media massa masih belum memberikan perhatian yang
penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking dan belum
memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun
penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik
dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan
kejahatan susila lainnya.
f) Pendidikan
minim dan tingkat buta huruf
Survei sosial-ekonomi nasional tahun 2000 melaporkan
bahwa 34% penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas belum/tidak tamat
SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat SD dan hanya 155 yang tamat SMP.
Menurut laporan BPS pada tahun 2000 terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak
usia 13-15 tahun tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan. Orang
dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan
menderita keterbatasan ekonomi. Dan mereka juga tidak akan mempunyai
pengetahuan kepercayaan diri untuk mengajukan pertanyaan tentang
ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan kondisi kerja mereka. Selain itu, mereka
akan sulit mencari pertolongan ketika mereka kesulitan saat berimigrasi atau
mencari pekerjaan. Mereka akan kesulitan bagaimana mengakses sumber daya yang
tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur iklan layanan masyarakat
lain mengenai rumah singgah atau nomor telepon yang bisa dihubungi untuk
mendapatkan bantuan. Seorang yang rendah melek huruf sering kali secara lisan
dijanjikan akan mendapat jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang
agen, namun kontrak yang mereka tanda tangani (yang mungkin tidak dapat mereka
baca) mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang jauh berbeda, mengarah
ke eksploitasi.
D. Undang-Undang Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
Berikut ini
beberapa peraturan perundang-undangan :
1.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Pasal 285, 287-298; Pasal 506
2.
UU RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi
konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW; pasal
2,6,9,11,12,14,15,16)
3.
UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi
konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)
4.
UU RI No. 1/2000 (ratifikasi
konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
5.
UU RI no. 29/1999 (ratifikasi
konvensi untuk Mengeliminasi Diskriminasi Rasial)
6.
Keppres No 36/1990 ( ratifikasi
konvensi Hak Anak)
E. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak
kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif
dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun
juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama
aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan
pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait)
dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak
bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan
masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun
juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran
bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu.
Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas
perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat
memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di
dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi
bersama. Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan
melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan
ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program
Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari
program ini adalah :
1.
Memperbaiki kualitas pendidikan dari
tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk Fmemperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak
perempuan.
2. Mendukung keberlanjutan
pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar,
3.
Menyediakan pelatihan keterampilan
dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
4.
Menyediakan pelatihan kewirausahaan
dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,
5. Merubah
sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.
F.
Hambatan
Pemberantasan Human Trafficking
Upaya penanggulangan perdagangan
manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak mengalami berbagai hambatan.
Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama ini, terdapat 3 (tiga) hal
yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya tersebut, yaitu antara
lain:
1.
Budaya masyarakat (culture)
Anggapan
bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan
polisi karena akan merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan
masalah yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipe yang ada di
masyarkat tersebut masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat dalam
melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami korban
perdagangan perempuan dan anak.
2.
Kebijakan pemerintah khususnya
peraturan perundang-undangan (legal substance)
Belum adanya
regulasi yang khusus (UU anti trafficking) mengenai perdagangan perempuan dan
anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN penghapusan
perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih kurangnya pemahaman
tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi RAN anti
trafficking tersebut.
3.
Aparat penegak hukum (legal structure)
Keterbatasan
peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak
berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus
mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga
korban bekerja dilihat sebagai proses kriminalisasi biasa.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Trafficking merupakan permasalahan klasik yang
sudah ada sejak kebudayaan manusia itu ada dan terus terjadi sampai dengan hari
ini. Penyebab utama terjadinya trafficking adalah kurangnya informasi
akan adanya trafficking, kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan serta
keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat terutama mereka yang berada di
pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan selain itu juga masih lemahnya
pelaksanaan hukum di Indonesia tentang perdagangan orang. Situasi ini terbaca
oleh pihak calo,sponsor,rekruter untuk mengambil manfaat dari keadaan ini
dengan mengembangkan praktek trafficking di tempat-tempat yang
diindikasikan mudah menjerat para korbannya.
Untuk memberantas dan mengurangi trafficking memerluan juga kerja
sama lintas Negara serta peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan.
Selain itu penyedian perangkat hukum yang memadahi untuk skala internasional,
regional bahkan lokal juga penegakan hukum oleh apart hukum untuk menghambat
laju pergerakan jaringan trafficking. Bahkan tindakan pemberian sanksi
yang berat terhadap pelaku trafficking dan perlindungan terhadap korban
juga harus diperhatikan. Dan yang tak kalah pentingnya dengan sosialisasi isu
tentang perdagangan anak dan perempuan terhadap semua komponen masyarakat
sehingga masalah ini mendapat perhatian dan menjadi kebutuhan yang mendesak
untuk diperjuangkan dan mendapatkan penanganan yang maksimal dari semua pihak.
b.
Saran
Perdagangan manusia (human
trafficking) merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh negara
Indonesia sebagai negara asal dan Negara lain yang menjadi tujuan human
trafficking . Kedua negara tersebut harus segera melakukan kerjasama yang
erat dan konsisten dalam memerangi kegiatan human trafficking yang
terjadi di perbatasan negara tersebut dengan meningkatkan pengawasan
di perbatasan. Kemudian, setiap negara khususnya negara Indonesia harus secepat
mungkin untuk membentuk suatu aturan hukum yang jelas dan tegas dalam memerangi
praktek human trafficking yang sudah lama berkembang di negara ini
serta harus menindak tegas semua pelaku praktek human trafficking.
Selain dari penyelesaian oleh
Pemerintah, penyelesaian oleh setiap individu dalam masyarakat juga perlu untuk
ditingkatkan dan diawasi. Untuk hal ini, pemerintah harus senantiasa melakukan
sosialisasi kepada masyarakat perbatasan ataupun masayarakat Indonesia secara
global agar lebih mengetahui tentang human trafficking dan agar
dapat melindungi diri dari human trafficking.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. Sulistyowati,
Budi. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar
(Edisi Revisi). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
UUD 1945. Hak Asasi Manusia/Pasal 28
NN,1999.Aliansi
Global Menentang Perdagangan Perempuan: Standar HAM untuk Perlakuan
terhadap Orang yang Diperdagangkan.
NN, Mematahkan
Persepsi Anak Perempuan sebagai Asset Bakti vs. Eksploitasi: http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?. (diakses
tanggal 20 November 2010)
Yentriyani,
Andi.2004.Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press
Komnas
Perempuan.2002.Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta,
Ameepro
Jannah,
Fathul et.al.,2003. Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar