BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Kebijakan Publik adalah apapun yang pemerintah
pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Pemerintah melakukan banyak hal
seperti mengatur perilaku, mengorganisasi birokrasi, mendistribusikan manfaat,
atau menarik pajak, atau semuanya itu sekaligus menurut Thomas R.Dye dalam Edi
Suharto. Dengan demikian kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan
publik. Menurut Kenneth E. Boulding dalam Edi Suharto, Kebijakan sosial adalah
kebijakan-kebijakan yang berpusat pada institusi-institusi yang menciptakan
integrasi dan mencegah aliance. Tujuan kebijakan sosial adalah membangun
identitas seseorang dalam kaitannya dengan suatu masyarakat tempat dia tinggal.
Keberhasilan kebijakan sosial terletak pada sejauh mana masyarakat atau
individu-individu diajak untuk melakukan transfer unilateral demi kepentingan
suatu kelompok atau masyarakat yang lebih luas. Dalam penentuan itu pasti ada
banyak perumusan perencanaan kebijakan, masukan-masukan dan cara-cara agar
kebijakan sosial terkafer dengan baik dan terlaksana seperti apa yang
diinginkan dari para pemain kebijakan. Dari latar belakang ini penulis ingin
memaparkan tentang pengertian kebijakan sosial, Model Perumusan Kebijakan
Sosial dan Proses Perumusan Kebijakan Sosial yang mungkin bisa menjadi acuan
atau panduan dalam menentukan kebijakan sosial guna kesejahteraan masyarakat
luas.[1]
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada dalam makalah
ini adalah:
1.
Apa
pengertian Kebijakan Sosial?
2.
Bagaimana
Model-model perumusan kebijakan sosial?
3.
Bagaimana
proses perumusan kebijakan sosial?
C.
Tujuan
Masalah
Adapun tujuan masalah yang ada dalam makalah ini
adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Kebijakan Sosial
2.
Untuk
mengetahui model-model perumusan kebijakan sosial
3.
Untuk
mengetahui proses perumusan kebijakan sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan Sosial
Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini
disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata
‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri
dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata
‘sosial’ (social). Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya
kita diskusikan terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya.
Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah
ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan
berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena
kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai
prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang
mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997).
Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat
prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara
terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Seperti halnya kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ pun
memiliki beragam pengertian. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial
ke dalam 5 pengertian:
·
Kata sosial mengandung pengertian umum
dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat
hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi,
arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial.
·
Kata sosial diartikan sebagai lawan
kata individual. Dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai
sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society)
warga atau komunitas (community).
·
Kata sosial sebagai istilah yang
melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang.
Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda
dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan,
jembatan.
·
Kata sosial sebagai lawan kata
ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan
aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter,
swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial.
Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa
uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan
Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk
mencari keuntungan ekonomi.
Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan
sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni
yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial
seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan
perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali
muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian
perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang
anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan
kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).
B. Model-model
Perumusan Kebijakan Sosial
Model
adalah wakil idea dari situasi-situasi dunia nyata. Model adalah penyederhanan
dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan menjadi dua yaitu model
fisik dan model abstrak. Model fisik adalah reproduksi dari suatu benda yang
berukuran kecil dari benda atau objek fisik yang dibuat untuk memaparkan
gambaran bentuk asli dari benda yang ingin digambarkan. Model abstrak adalah
penyederhanaan fenomena sosial atau konsep-konsep tertentu yang dinyatakan
dalam bentuk pernyataan-pernyataan teoritis, simbolis, gambar atau
rumusan-rumusan matematis mengenai fenomena yang didiskripsikannya.[2]
Selain
model kebijakan sosial menunjuk pada bentuk dan pendekatan kebijakan sosial,
model kebijakan sosial juga dapat dibuat dalam kaitannya dengan perumusan
kebijakan sosial. Model seperti ini menunjuk pada proses perumusan kebijakan
sosial. Namun demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa model tersebut bukanlah
suatu proses yang kaku. Karenanya tidak ada “cetak biru” khusus yang harus
diikuti secara tertutup. Langkah-langkah dalam model perumusan kebijakan sosial
dibawah ini hanyalah berfungsi sebagai pedoman yang memandu proses perumusan
kebijakan. Menurut Gilbert dan Specht dalam Edi Suharto menyatakan bahwa
setidaknya ada tiga model yang dapat diikuti untuk merumuskan kebijakan sosial,
sebagaimana dijelaskan pada tabel 1.2 dibawah ini:
Tabel
1.2: Model-Model Perumusan Kebijakan Sosial
Model A
Perencanaan
|
Model B
Pembuatan Kebijakan
|
Model C
Pengembangan Kebijakan
|
1. Dorongan Perencanaan
2. Eksplorasi/Penelitian
3. Pendefinisian Tugas-tugas Perencanaan
4. Perumusan Kebijakan
5. Perumusan Program
6. Evaluasi
|
1. Pengidentifikasian masalah
2. Perumusan Kebijakan
3. Legitimasi Kebijakan
4. Implementasi Kebijakan
5. Evaluasi Kebijakan
|
1. Perencanaan Kebijakan
2. Pengembangan dan implementasi program
3. Evaluasi
|
Tabel di atas
memperlihatkan bahwa perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui beberapa tahap
yang berbeda namun memiliki kesamaan. Berdasarkan model-model tersebut, kita
dapat merumuskan kebijakan yang dikelompokkan dalam tiga tahap : identifikasi,
implementasi dan evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa langkah tahapan
yang terkait. Oleh karena itu, model perumusan kebijakan dapat disebut dengan
sebutan “segitiga perumusan kebijakan”.
1. Tahap
Identifikasi
·
Identifikasi
Masalah dan Kebutuhan: Tahap pengumpulan data mengenai permasalahan sosial yang
dialami masyarakat serta mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
belum terpenuhi.
·
Analisis
Masalah dan Kebutuhan: Tahap ini yaitu memilah dan mengolah data mengenai
masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan
ditransformasikan kedalam laporan yang terorganisasi.
·
Penginformasian
Rencana Kebijakan: Setelah ada hasil dari laporan analisis maka disusunlah
rencana kebijakan yang disampaikan kepada subtansi masyarakat dan juga bisa
diberitahukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
·
Perumusan
Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat beberapa saran dari masyarakat, maka
dilakukan diskusi untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang dari alternatif
itu dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan kebijakan.
·
Pemilihan
Model Kebijakan: Tahap ini digunakan untuk menentukan pendekatan, strategi, dan
metode yang paling efektif dan efisien jua dimaksudkan untuk memperoleh basis
ilmiah dan prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis, dan dapat
dipertanggung jawabkan.
·
Penentuan
Indikator Sosial: tahap ini berfungsi sebagai acuan, ukuran standarisasi
rencana tindakan dan hasil yang akan dicapai.
·
Membangun
Dukungan dan Legitimasi Publik:Menginformasikan kembali rencana kebijakan yang
telah disempurnakan. Melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan,
melakukan lobi, negoisasi, dan koalisi dengan kelompok masyarakat agar tercapai
konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan yang akan diterapkan.[3]
2. Tahap
Implementasi
·
Perumusan
kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam
strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
·
Perancangan
dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah
mengoprasionalkan kebijakan kedalam usulan-usulanprogram atau proyek sosial
untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.
3. Tahap
Evaluasi
·
Evaluasi
dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil
implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada
tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan
serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang
telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh
atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi
masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan
kebijakan yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya
atau perumusan kebijakan baru.
C. Proses
Perumusan Kebijakan Sosial
Salah
satu tugas dari pemerintah adalah merumuskan kebijakan publik. Perumusan ini membutuhkan
sebuah proses yang sistematis walaupun tidak kaku, proses perumusan kebijakan
memungkinkan sistem pemerintahan dalam merumuskan kebijakan menjadi teratur dan
memiliki ritme yang jelas. Proses perumusan kebijakan juga sering disebut
dengan sebutan lingkaran kebijakan ( policy cycle ) menurut Bridgman dan
Davis, 2004 dalam Edi Suharto. Proses ini melibatkan berbagai lapisan dari
pejabat pemerintah dan lembaga non pemerintah. Cara yang paling sering
digunakan untuk membuat kebijakan adalah membagi proses perumusannya kedalam
beberapa langkah yang jelas dan mudah diidentifikasikan secara terpisah. Aktor
yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan publik adalah warga negara
secara individu di Swiss dan negara bagian California menurut Winarno, 2004: 91
dalam Edi Suharto, elit politik di negara yang berkembang seperti Korea
Selatan, Indoneia dan Kuba dengan pengaruh sedikit dari masyarakatnya, setiap
penduduk di negara maju.[4]
Dalam garis besar para pemain kebijakan dapat dikelompokkan dalam dua kategori,
yaitu pertama, pemain resimi seperti lembaga eksekutif, yudikatif, dan
legeslatif. Kedua, pemain non formal seperti kelompok kepentingan, partai
politik, warga negara individu.
Proses
perumusan kebijakan menurut Sabatier dan Jenkis-Smith, 1993; Bridgman dan
Davis, 2004. Sebgai contoh Anderson 1994: 37 dalam Edi Suharto menyatakan bahwa
perumusan kebijakan mengikuti sekuen logis sebgai berikut:
Ø Pemerintah menyadar bahwa sebuah respon
diperlukan untuk mengatasi masalah.
Ø Pemerintah menyeleksi aksi apa yang perlu
dilakukan untuk mengatasi masalah.
Ø Pemerintah menetapkan sebuah solusi
Ø Pemerintah mengimplementasikan solusi yang telah
dipilih.
Ø Pemerintah mengajukan pertanyaan “apakah kebijakan
itu berjalan dengan baik?”
Hampir
semua penjelasan mengenai proses perumusan kebijakan bergerak melalui tiga
tahapan, yaitu pengembangan ide, melakukan aksi, dan mengevaluasi hasil. Namun
menurut Edi Suharto 2008, langkah-langkah akan dimulai dari identifikasi isu,
merumuskan agenda kebijakan, melakukan konsultasi, menetapkan keputusan,
menerapkan kebijakan, dan mengevaluasi kebijakan. Namun demikian, perumusan
kebijakan tidak selalu dilakukan secara melingkar dengan tahapan dan kegiatan
yang selalu sama. Tergantung pada konteks dan kebutuhan, proses perumusan
kebijakan bisa juga dilakukan melalui serangakaian kegiatan yang tidak selalu
berbentuk lingkaran kebijakan.[5]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan
yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut
bidang kesejahteraan sosial. Sejarah menyaksikan bahwa semakin
maju dan demokratis suatu negara, maka semakin tinggi perhatian negara tersebut
terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya, di negara-negara miskin dan
otoriter kebijakan sosial pada hakekatnya kurang mendapatkan perhatian.
Kebijakan sosial hakekatnya kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan yang
sungguh-sungguh berpihak demi kesejahteraan rakyat demi terwujudnya tatanan
negara yang baik dengan adanya rumusan formulasi perencanaan kebijakan sosial
yang terkafer dengan jelas, rinci dan tepat, sehingga memperkuat sistem tatanan
negara kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Suharto Edi,2005. Analisis Kebijakan Publik,
Bandung: Alfabeta.
Suharto Edi, 2008.Kebijakan Sosial sebagai
Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Dunn, William N, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik,
diterjemahkan oleh Samudra Wibowo. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
[1]
Suharto Edi, Kebijakan Sosial
sebagai Kebijakan Publik, (Banding: Alfabeta, 2008), hlm. iii
[2]
Suharto Edi, Analisis Kebijakan
Publik, ( Bandung : alfabeta, 2008 ), hlm. 69.
[3]
Suharto Edi, Analisis Kebijakan Publik,
(Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 78-80.
[4]
Suharto Edi, Kebijakan Sosial
sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 23.
[5]
Suharto Edi, Kebijakan Sosial
sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 26-25.