Kamis, 31 Maret 2016

Makalah Model-Model Perumusan Kebijakan Sosial



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kebijakan Publik adalah apapun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Pemerintah melakukan banyak hal seperti mengatur perilaku, mengorganisasi birokrasi, mendistribusikan manfaat, atau menarik pajak, atau semuanya itu sekaligus menurut Thomas R.Dye dalam Edi Suharto. Dengan demikian kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik. Menurut Kenneth E. Boulding dalam Edi Suharto, Kebijakan sosial adalah kebijakan-kebijakan yang berpusat pada institusi-institusi yang menciptakan integrasi dan mencegah aliance. Tujuan kebijakan sosial adalah membangun identitas seseorang dalam kaitannya dengan suatu masyarakat tempat dia tinggal. Keberhasilan kebijakan sosial terletak pada sejauh mana masyarakat atau individu-individu diajak untuk melakukan transfer unilateral demi kepentingan suatu kelompok atau masyarakat yang lebih luas. Dalam penentuan itu pasti ada banyak perumusan perencanaan kebijakan, masukan-masukan dan cara-cara agar kebijakan sosial terkafer dengan baik dan terlaksana seperti apa yang diinginkan dari para pemain kebijakan. Dari latar belakang ini penulis ingin memaparkan tentang pengertian kebijakan sosial, Model Perumusan Kebijakan Sosial dan Proses Perumusan Kebijakan Sosial yang mungkin bisa menjadi acuan atau panduan dalam menentukan kebijakan sosial guna kesejahteraan masyarakat luas.[1]
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian Kebijakan Sosial?
2.      Bagaimana Model-model perumusan kebijakan sosial?
3.      Bagaimana proses perumusan kebijakan sosial?
C.     Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah yang ada dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Kebijakan Sosial
2.      Untuk mengetahui model-model perumusan kebijakan sosial
3.      Untuk mengetahui proses perumusan kebijakan sosial

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kebijakan Sosial
Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’ (social). Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya.
Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Seperti halnya kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ pun memiliki beragam pengertian. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian:
·         Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial.
·         Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas (community).
·         Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
·         Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.
Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).
B.     Model-model Perumusan Kebijakan Sosial
Model adalah wakil idea dari situasi-situasi dunia nyata. Model adalah penyederhanan dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan menjadi dua yaitu model fisik dan model abstrak. Model fisik adalah reproduksi dari suatu benda yang berukuran kecil dari benda atau objek fisik yang dibuat untuk memaparkan gambaran bentuk asli dari benda yang ingin digambarkan. Model abstrak adalah penyederhanaan fenomena sosial atau konsep-konsep tertentu yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan-pernyataan teoritis, simbolis, gambar atau rumusan-rumusan matematis mengenai fenomena yang didiskripsikannya.[2]
Selain model kebijakan sosial menunjuk pada bentuk dan pendekatan kebijakan sosial, model kebijakan sosial juga dapat dibuat dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan sosial. Model seperti ini menunjuk pada proses perumusan kebijakan sosial. Namun demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa model tersebut bukanlah suatu proses yang kaku. Karenanya tidak ada “cetak biru” khusus yang harus diikuti secara tertutup. Langkah-langkah dalam model perumusan kebijakan sosial dibawah ini hanyalah berfungsi sebagai pedoman yang memandu proses perumusan kebijakan. Menurut Gilbert dan Specht dalam Edi Suharto menyatakan bahwa setidaknya ada tiga model yang dapat diikuti untuk merumuskan kebijakan sosial, sebagaimana dijelaskan pada tabel 1.2 dibawah ini:


Tabel 1.2: Model-Model Perumusan Kebijakan Sosial
Model A
Perencanaan
Model B
Pembuatan Kebijakan
Model C
Pengembangan Kebijakan
1.      Dorongan Perencanaan
2.      Eksplorasi/Penelitian
3.      Pendefinisian Tugas-tugas Perencanaan
4.      Perumusan Kebijakan
5.      Perumusan Program
6.      Evaluasi
1.      Pengidentifikasian masalah
2.      Perumusan Kebijakan
3.      Legitimasi Kebijakan
4.      Implementasi Kebijakan
5.      Evaluasi Kebijakan
1.      Perencanaan Kebijakan
2.      Pengembangan dan implementasi program
3.      Evaluasi

Tabel di atas memperlihatkan bahwa perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui beberapa tahap yang berbeda namun memiliki kesamaan. Berdasarkan model-model tersebut, kita dapat merumuskan kebijakan yang dikelompokkan dalam tiga tahap : identifikasi, implementasi dan evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa langkah tahapan yang terkait. Oleh karena itu, model perumusan kebijakan dapat disebut dengan sebutan “segitiga perumusan kebijakan”. 



1.      Tahap Identifikasi
·         Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pengumpulan data mengenai permasalahan sosial yang dialami masyarakat serta mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi.
·         Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap ini yaitu memilah dan mengolah data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan kedalam laporan yang terorganisasi.
·         Penginformasian Rencana Kebijakan: Setelah ada hasil dari laporan analisis maka disusunlah rencana kebijakan yang disampaikan kepada subtansi masyarakat dan juga bisa diberitahukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
·         Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat beberapa saran dari masyarakat, maka dilakukan diskusi untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang dari alternatif itu dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan kebijakan.
·         Pemilihan Model Kebijakan: Tahap ini digunakan untuk menentukan pendekatan, strategi, dan metode yang paling efektif dan efisien jua dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis, dan dapat dipertanggung jawabkan.
·         Penentuan Indikator Sosial: tahap ini berfungsi sebagai acuan, ukuran standarisasi rencana tindakan dan hasil yang akan dicapai.
·         Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik:Menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan. Melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negoisasi, dan koalisi dengan kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan yang akan diterapkan.[3]
2.      Tahap Implementasi
·         Perumusan kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
·         Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoprasionalkan kebijakan kedalam usulan-usulanprogram atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.
3.      Tahap Evaluasi
·         Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap  proses maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau perumusan kebijakan baru.
C.     Proses Perumusan Kebijakan Sosial
Salah satu tugas dari pemerintah adalah merumuskan kebijakan publik. Perumusan ini membutuhkan sebuah proses yang sistematis walaupun tidak kaku, proses perumusan kebijakan memungkinkan sistem pemerintahan dalam merumuskan kebijakan menjadi teratur dan memiliki ritme yang jelas. Proses perumusan kebijakan juga sering disebut dengan sebutan lingkaran kebijakan ( policy cycle ) menurut Bridgman dan Davis, 2004 dalam Edi Suharto. Proses ini melibatkan berbagai lapisan dari pejabat pemerintah dan lembaga non pemerintah. Cara yang paling sering digunakan untuk membuat kebijakan adalah membagi proses perumusannya kedalam beberapa langkah yang jelas dan mudah diidentifikasikan secara terpisah. Aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan publik adalah warga negara secara individu di Swiss dan negara bagian California menurut Winarno, 2004: 91 dalam Edi Suharto, elit politik di negara yang berkembang seperti Korea Selatan, Indoneia dan Kuba dengan pengaruh sedikit dari masyarakatnya, setiap penduduk di negara maju.[4] Dalam garis besar para pemain kebijakan dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu pertama, pemain resimi seperti lembaga eksekutif, yudikatif, dan legeslatif. Kedua, pemain non formal seperti kelompok kepentingan, partai politik, warga negara individu.
Proses perumusan kebijakan menurut Sabatier dan Jenkis-Smith, 1993; Bridgman dan Davis, 2004. Sebgai contoh Anderson 1994: 37 dalam Edi Suharto menyatakan bahwa perumusan kebijakan mengikuti sekuen logis sebgai berikut:
Ø  Pemerintah menyadar bahwa sebuah respon diperlukan untuk mengatasi masalah.
Ø  Pemerintah menyeleksi aksi  apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah.
Ø  Pemerintah menetapkan sebuah solusi
Ø  Pemerintah mengimplementasikan solusi yang telah dipilih.
Ø  Pemerintah mengajukan pertanyaan “apakah kebijakan itu berjalan dengan baik?”
Hampir semua penjelasan mengenai proses perumusan kebijakan bergerak melalui tiga tahapan, yaitu pengembangan ide, melakukan aksi, dan mengevaluasi hasil. Namun menurut Edi Suharto 2008, langkah-langkah akan dimulai dari identifikasi isu, merumuskan agenda kebijakan, melakukan konsultasi, menetapkan keputusan, menerapkan kebijakan, dan mengevaluasi kebijakan. Namun demikian, perumusan kebijakan tidak selalu dilakukan secara melingkar dengan tahapan dan kegiatan yang selalu sama. Tergantung pada konteks dan kebutuhan, proses perumusan kebijakan bisa juga dilakukan melalui serangakaian kegiatan yang tidak selalu berbentuk lingkaran kebijakan.[5]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Sejarah menyaksikan bahwa semakin maju dan demokratis suatu negara, maka semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya, di negara-negara miskin dan otoriter kebijakan sosial pada hakekatnya kurang mendapatkan perhatian. Kebijakan sosial hakekatnya kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan yang sungguh-sungguh berpihak demi kesejahteraan rakyat demi terwujudnya tatanan negara yang baik dengan adanya rumusan formulasi perencanaan kebijakan sosial yang terkafer dengan jelas, rinci dan tepat, sehingga memperkuat sistem tatanan negara kesejahteraan.


DAFTAR PUSTAKA

Suharto Edi,2005. Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Suharto Edi, 2008.Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Dunn, William N, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, diterjemahkan oleh Samudra Wibowo. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.










[1] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Banding: Alfabeta, 2008), hlm. iii

[2] Suharto Edi, Analisis Kebijakan Publik, ( Bandung : alfabeta, 2008 ), hlm. 69.

[3] Suharto Edi,   Analisis Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 78-80.

[4] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 23.

[5] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 26-25.

Minggu, 27 Maret 2016

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TRADISI BEJANJAM DI DESA SUKARARA KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
TRADISI BEJANJAM DI DESA SUKARARA KECAMATAN PRAYA  KABUPATEN LOMBOK TENGAH
A.    Naluri Manusia
Sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai tradisis Bejanjam, terlebih dahulu kita ketahui bahwa manusia itu mempunyai naluri, karena manusia merupakan makhluk yang sangat unik bahkan bisa dibilang sangat spesial. Ia diciptakan sedemikian rupa dengan berbagai komponen dan potensi yang luar bias. Terkadang ia merasa takut, merasakan cinta, bahagia, sedih, dan banyak lagi perasaan-perasaan lainnya. Semua itu muncul dari naluri yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai salah satu potensi dan komponen untuk menopang kehidupannya. Naluri ini merupakan bawaan sejak lahir dan bersifat internal.
An Nabhani berdasarkan penelitiannya terkait perilaku manusia membagi naluri secara umum menjadi tiga jenis[1], yaitu:
1.      Naluri Mempertahankan diri (Gharizatul Baqa’)
2.      Naluri mempertahankan jenis (Gharizatun Nau’)
3.      Naluri Beragama (Gharizatut Tadayyun)
Ketiga naluri ini bisa dibilang merupakan pokok dan sumber dari semua perilaku dan sikap yang ditunjukkan manusia dalam kehidupannya. Begitu pula dengan rasa sedih akibat ditinggal oleh orang yang dikasihi. Perasaan ini, menurut An Nabhani merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Dengan kata lain kesedihan dan perasaan duka terutama ketika ditinggal mati oleh orang yang dikasihi merupakan hal yang lumrah bagi manusia. Karena ia lahir dan muncul dari sebuah potensi yang telah menjadi bagian internal dari manusia itu sendiri.
Sepanjang sejarah kita temukan banyak sekali tradisi dan ritual yang dilakukan manusia ketika menghadapi peristiwa kematian. Ritual dan tradisi itu bahkan sudah ada sejak pertama kali manusia menjalani kehidupan mereka di bumi. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an tentang awal mula penguburan jasad manusia.

Artinya:
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini ?" Karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (QS. Al-Maidah: 31)
Sampai sekarangpun berbaga tradisi dan ritual tersebut masih ada dan dilakukan di seluru dunia dengan berbagai ragam dan jenisnya. Masing-masing agama juga memiliki ritual yang mereka laksanakan ketika salah seorang dari penganut mereka meninggal. Mulai dari membacakan Do’a dan lain sebagaianya.
Salah satu dari tradisi yang ada kaitannya dengan kematian tersebut juga terdapat di Lombok, tradisi tersebut dinamakan tradisi bejanjam.
B.     Latar Belakang Tradisi Bejanjam
Tradisi bejanjam merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh suku sasak yang bermukim di wilayah Lombok Tengah dan Lombok Selatan. Salah satunya adalah warga masyarakat di Desa Sukarara kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah. Bejanjam sendiri dalam bahasa indonesia berarti meratap. Sehingga secara singkat tradisi bejanjam ini adalah tradisi yang dilakukan saat ada salah seorang sanak keluarga yang meninggal.[2]
Kaum wanita dari keluarga dekat almarhum atau almarhumah yang biasanya melakukan ritual bejanjam. Hal ini dikarenakan para wanita memang lebih perasa dan lebih emosional ketimbang laki-laki. Sehingga mereka lebih mudah mengungkapkan kesedihan dan rasa duka mereka dalam bentuk kata-kata secara spontan.
Selain yang ada di desa Sukarara, Praya, tradisi bejanjam rupanya terdapat juga di wilayah Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat. Walaupun tata cara dan pengertiannya berbeda dengan tradisi bejanjam yang ada di desa Sukarara namun tradisi ini masih ada kaitannya dengan kematian. Dimana tradisi bejanjam yang dilakukan di wilayah Batu Layar ini dilakukan ketika berziarah ke makam Batu Layar, salah satu makam yang dikeramatkan oleh warga setempat.
Warga setempat meyakini bahwa makam Batu Layar adalah makam tempat disemayamkannya salah seorang keturunan Rasulullah saw. Beliau adalah seorang tokoh penyebar Islam berkebangsaan Baghdad yang bernama Sayyid Duhri Al Haddad Al Hadrami. Ada juga yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Syaikh Sayyid Muhammad Al Baghdad.
C.    Pelaksanaan Bejanjam
Biasanya bejanjam ini dilakukan oleh kaum wanita dari keluarga dekat orang yang meninggal. Bejanjam sendiri merupakan syair ratapan yang disenandungkan secara spontan dengan nada mengharukan yang berisi ungkapan kesedihan dan duka cita karena ditinggal mati oleh salah satu anggota keluarga. Tidak hanya itu bejanjam juga berisi pernyataan atas segala kebaikan almarhum atau almarhumah semasa hidup.
Mereka akan berhenti melakukan bejanjam ketika semua perasaaa duka dan kesedihan mereka telah diluapkan atau ketika kiai telah datang untuk memulai prosesi pengurusan jenazah.Mulai dari memandikan,menyolatkan,hingga menguburkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya isi dari bejanjam yang dilakukan oleh kaum wanita adalah ungkapan duka atas meninggalnya almarhum serta menyebut-nyebut kebaikannya semasa hidup. Namun terkadang kaum wanita yang tidak bisa mengontrol kesedihannya melakukan bejanjam dengan menyisipkan kata-kata yang agak berlebihan di dalam syair ratapannya. Saat itu sanak kerabat atau kiai yang mendengar akan mengingatkan mereka.
Bejanjam ini juga tidak selalu dilakukan setiap kali ada orang yang meninggal. Hal itu tergantung pada hubungan emosional antara yang meninggal dengan orang lain. Jika orang-orang yang ada di sekitar yang meninggal tidak memiliki hubungan emosional dengan orang di sekitarnya maka bejanjam tidak akan dilakukan.
Tradisi bejanjam juga melahirkan kebiasaan baru yang disebut betandak. Betandak dalam bahasa indonesia artinya bersyair. Betandak ini bisa dikatakan lebih bebas waktu pelaksanaannya ketimbang bejanjam. Isinya pun berbeda dengan bejanjam. Tergantung dari kondisi dan suasana hati orang yang hendak betandak. Namun orang-orang sasakbiasanya betandak ketika mereka memiliki perasaan istimewa untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seperti saat hendak mengunjungi kekasihnya sehingga syair yang mereka ungkapkan ketika betandak berisi ungkapan rasa rindu, cinta atau gugup karena akan bertemu dengan sang kekasih. Syair yang diungkapkan saat betandak juga bisa berisi ungkapan rasa syukur dan bahagia ketika tengah memanen padi. Tak jarang pula mereka betandak ketika tengah dirundung duka. Berikut adalah salah satu syair sasak yang biasa dilantunkan ketika betandak:
Aduh anakku mas mirah
Buak ate kembang mate
Mulen tulen kubantelin
Sintung jari salon angin
Berembe bae side nune jangkem ngeni
Kembang mate kelepangne isik angin
Laguk temak side nune
Bau yak bedait malik
Namun perkembangan tradisi bejanjam ini perlahan mulai memudar seiring dengan perkembangan Islam modern. Hal itu disebabkan para kiai atau tokoh agama yang datang kemudian melarang untuk meratapi jenazah. Akan tetapi tradisi ini masih bisa kita temukan dilakukan oleh para sesepuh dan orang-orang tua di beberapa daerah pelosok seperti di kampung Bunrantok di Sukarara.
Pelaksanaan tradisi bejanjam yang ada di Batu Layar berbeda dengan yang ada di Desa sukarara, dimana pelaksanaanya dilakukan dengan cara: Sebelum berziarah, para pengunjung dihimbau untuk terlebih dahulu mengambil air dari sebuah tempat bernama Lingkuk Mas. Lingkuk Mas sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia artinya Sumur Mas. Air yang mereka ambil dari Lingkuk Mas ini nantinya akan digunakan untuk ritual tradisi bejanjam.
Tradisi Bejanjam ini sendiri adalah membasuh wajah anak-anak dengan harapan kelak mereka menjadi anak yang saleh. Dan biasanya air yang digunakan untuk membasuh tersebut didapat dari Lingkuk Mas.
D.    Kearifan Lokal Tradisi Bejanjam
Pada dasarnya tradisi bejanjam memiliki nilai-nilai positif di balik pelaksanaannya. Diantaranya adalah kandungan nilai moral dan sosial. Hal ini bisa kita lihat dari  syair bejanjam yang diisi dengan menyebut-nyebut kebaikan orang yang sudah meninggal sekaligus mempererat hubungan emosional antar warga dalam suasana duka.

Kesimpulan
Memudarnya tradisi bejanjam ini merupakan akibat dari larangan para kiai dan tokoh agama yang datang kemudian. Mereka berdalih bahwa meratapi dan menangisi mayat atau jenazah merupakan sesuatu yang dilarang secara mutlak. Sehingga perlahan orang-orang mulai meninggalkan kebiasaan ini, kecuali beberapa orang tua dan sesepuh di desa dan wilayah-wilayah tertentu.
Padahal jika diperhatikan tradisi bejanjam ini pada mulanya tidak dilarang oleh para kiai dan tokoh agama pada masa itu sehingga tetap dilakukan sampai muncul larangan. Beberapa faktor yang membuat mereka membolehkan hal tersebut dikarenakan di dalam bejanjam  kaum wanita hanya mengungkapkan perasaan duka mereka dan tidak mengatakan segala sesuatu yang bisa membuat Allah swt murka atau terhitung sebagai perbuatan dosa. Bahkan mereka menyebutkan segala kebaikan yang pernah dilakukan oleh si almarhum atau almarhumah. Tidak hanya itu tangisan yang mereka lakukan pun bukan tangisan yang dibuat-buat melainkan buah dari perasaan duka mereka karena ditinggal mati oleh orang yang dikasihi. Jadi hal tersebut sangat alami dan lumrah dilakukan oleh manusia.
Berdasarkan keterangan yang didapat juga, para kiai dan tokoh agama terdahulu tersebut membolehkan berlangsungnya tradisi ini karena di dalam Al Qur’an terdapat ayat yang membolehkan untuk menangisi atau meratapi seseorang. Hal itu termaktub di dalam surah Yusuf ayat 84 dan 86:
Artinya:
Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: "Demi Allah, Senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau Termasuk orang-orang yang binasa".
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (Qs. Yusuf: 84-86)
Mereka juga menyatakan bahwa setiap kata yang diungkapkan oleh kaum wanita ketika bejanjam  hanya berisi ungkapan duka mereka saja, tidak lebih. Dan sangat jarang sekali mereka menyisipkan kata-kata atau kalimat yang seakan menampakkan ketidakrelaan mereka terhadap keputusan atau takdir Allah swt atas meninggalnya keluarga mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, Yadi. 2011. Psikologi Kepribadian. Bandung: PT Refika Aditama. Cet ke-2.
Hasil wawancara dengan beberapa warga di Desa Sukarara Kecamatan Praya Lombok Tengah.





[1] Yadi Purwanto, Psikologi Kepribadian, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hal. 100
[2] Wawancara dengan beberapa orang warga asli di Desa Sukarara