TEORI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat
lumrah dibicarakan untuk kemajuan dan perubahan bangsa saat ini dan untuk kedepan,
apalagi jika dilihat dari skill masyarakat indonesia kurang baik, sehingga menghambat
pertumbuhan ekonomi itu sendiri, konsep pemberdayaan masyarakat mencakup
pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang
bertumpu pada masyarakat (community based development).
Pertama-tama perlu dipahami arti dan makna pemberdayaan dan
pembangunan masyarakat, keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan
individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat
yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar memiliki kesehatan fisik
dan mental, serta didik dan kuat inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang
tinggi, sedangkan pembangunan masyarakat adalah suatu hal yang perlu manage
untuk kemampuan masyarakat itu sendiri.
Memberdayakan masayarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang masih belum
mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan
dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat, sehingga muncul perubahan yang lebih efektif dan efisien.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana
konsep, teori, dan indikator dalam pemberdayaan masyarakat ?
2.
Apa
tujuan, strategi, pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat?
C.
Tujuan Masalah
Adapun Tujuan Masalah yang di bahas dalam makalah ini yang terkait
dengan rumusan masalah di atas, adalah:
1.
Untuk
mengetahui konsep pemberdayaan masyarakat, teori-teori dalam pemberdayaan
masyarakat, dan indikator dalam pemberdayaan masyarakat.
2.
Untuk
mengetahui tujuan pemberdayaan masyarakat, strategi dalam pemberdayaan
masyarakat, dan pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Sebelum kita membahas
konsep konsep pemberdayaan, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu konsep
pembangunan yang pada dasarnya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat yang
lebih luas.
Pembangunan menurut
literatur literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu
proses yang berkesinambunagan dari peningkatan pendapatan riil perkapita
melalui peningkatan produktifitas sumberdaya. Dari pandangan itu lahir konsep
konsep mengenai pembangunan pertumbuhan ekonomi.
Teori mengenai
pertumbuhan ekonomi dapat ditelussuri setidak tidaknya sejak abad ke-18.
Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian mampu
melakukan pembagian kerja (devision of labor). Pembagian kerja akan
meningkatkan produktivitas yang ada pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan.
Adam Smith juga menggarisbawahi pentingnya skala ekonomi. Setelah Adam Smith
muncul pemikiran pemikiran yang berusaha mengkaji batas batas pertumbuhan (limits
to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917).
Setelah Adam Smith,
Malthus, dan Ricardo yang disbut aliran klasik, Berkembang menjadi pertumbuhan
ekonomi moderndengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi dua,
yaitu menekankan pentingnya akumulasi modal (Physical capital formation)
dan meningkatkan kualistas sumberdaya manusia (human capital).
Setelah itu muncul
perkembangan model yang disebut neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik
mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan mempengaruhi pertumbuhan
pemberdayaan masyarakat dalm negara ataupun wilayah (Solow, 1957).
Teori pertumbuhan
selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain diluar modal dan tenaga kerja
yang mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sala satu teori
berpendapatbahwa investasi sumber daya manusia berpengaruh yang besar dalam
meningkatkan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas
tenaga kerja ini dapat mendorong melalui pendidikan dan pelatihan serta
meningkatkan derajat kesehatan.
Disisi lain berkembang
berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata
memberi penekanan kepada pertumbuhan, maka berkembang kelompok pemikiran yang
disebut sebagai pradigma pembanguna sosial yang bertujuan untuk
menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadialaan, serta memberi angin
segar dalam perubahan sosial yang lebih dinamis dan elegan.
Salah satu metode yang
umun digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap kesejahtraan
masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Pembagian
pendapatan berdasarkan kelas-kelas pendapatan (the size distribisiont of
income) dapat di ukur dengan menggunakan kurva Lorenz atau indeks Gini.
Selain ditribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat di ukur
dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara atau
wilayah.
b.
Teoritis dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pemahaman dalam pemberdayaan masyarakat memerlukan sikap yang
subjektif dalam penelitiannya, subjektifitas ini bertolak dari sikap dasar
bahwa setiap penelitian tentang suatu permasalahan sosial selalu dilakukan untuk
memperbaiki situasi sosial yang ada, untuk meluruskan ketimpangan yang ada dan
bukan hanya melukiskan serta menerangkan kenyataan yang ada (Buchori, 1993).
Dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit
Based dan Strength based. Pendekatan Deficit-based
berpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara
penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan
diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat,
serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini
bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak menutup kemungkinan
terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh based (berbasis kekuatan) dengan
sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau
kemampuan-kemampuan yang di miliki oleh individu atau organisasi untuk
menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang
mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan
memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan
(Cooperrider dan Srivastva, 1978; Cooperrider dkk, 2000; Fry dkk, 2002; Ludema
dkk, 2000, dalam Gergen dkk, 2004).
Dalam metode untuk pemberdayaan masyarakat juga dapat dibangun
berdasarkan beberapa aspek, antara lain:
1.
Kemampuan-kemampuan
masyarakat setempat
2.
Penggunaan
tekhnik-tekhnik fasilitatif dan partisifatoris
3.
Pemberdayaan
masyakat desa dalam prosesnya ( khan dan Suryadanata, 1994)
Perspektif dalam Pemberdayaan Masyarakat
1.
Pluralis,
persaingan dan perselisihan tidak terelakkan. Masing-masing mempunyai
kesempatan yang sama. Kelompok atas membantu kelompok yang lain/kalah/lemah.
2.
Elit,
politik semacam permainan, dimana setiap pemain memiliki kesempatan yang sama.
Ada kelompok yang kalah karena tidak
memiliki kekuasaan. Proses pemberdayaan berarti menggabungkan diri ke dalam
politik sehingga bisa digabungkan antara kelompok lemah dan kelompok kuat.
3.
Struktural,
ketidakberuntungan masyarakat terjadi akibat struktur sosial dan politik yang
berbeda-beda. Adanya ketimpangan struktur mengakibatkan perbedaan keberentungan
yang satu dan lainnya. Melakukan perubahan struktur dapat memberdayakan
masyarakat (pengertian pemberdayaan).
c.
Indikator dalam Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Kieffer (1981), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang
meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi
partisipatif (Suharto, 1997:215). Parsons et.al. (1994:106) juga mengajukan
tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada:
·
Sebuah
proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian
berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.
·
Sebuah
keadaan psikologis yang di tandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu
mengendalikan diri dan orang lain.
·
Pembahasan
yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan
politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari
orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah
struktur-struktur yang masih menekan (Parsons et.al., 1994:106)
Untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional,
maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan
seseorang itu berdaya atau tidak.
Sehingga kita sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat
dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya
keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan.
Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat dapat dilihat keberdayaan
mereka mengenai: kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan,
kemampuan kultural dan politis. Schuler, Hashemi, dan Riley mengembangkan
delapan indikator pemberdayaan diantaranya:
1)
Kebebasan
mobilitas
2)
Kemampuan
membeli komiditas kecil
3)
Kemampuan
membeli komoditas besar
4)
Terlibat
dalam pembuatan keputusan-keputusan RT
5)
Kebebasan
relatif dari dominasi keluarga
6)
Kesadaran
hukum dan politik
7)
Keterlibatan
dalam kampanye/demonstrasi
8)
Jaminan
ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga (Soeharto,2006:65)
d.
Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat,
khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi
internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal
(misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil). Guna memahami
pemahaman mengenai pemberdayaan perlu di ketahui konsep mengenai kelompok lemah
dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan
sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi:
1.
Kelompok
lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun etnis.
2.
Kelompok
lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan
lesbian, masyarakat terasing.
3.
Kelompok
lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/ atau
keluarga.
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu
masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas
etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah
orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang
berbeda dari keumuman kerapkali dipandang sebagai deviant (penyimpang). Mereka
seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang malas, lemah, yang
disebabkan oleh dirinya sendiri, padahal ketidakberdayaan mereka seringkali
merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek
kehidupan tertentu.
Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari
ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal.
Menurutnya, ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif;
interaksi negatif dengan lingkungan atau berasal dari blokade dan hambatan yang
berasal dari lingkungan yang lebih besar (Suharto, 1997:213-214):
§ Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari
adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk
akibat penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas
merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri
mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam
masyarakat.
§ Integrasi mereka dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber
dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan
sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh wanita atau kelompok
minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di
sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya,
misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan
organisasi sosial dimana mereka berada.
§ Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran
dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak
berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau
menjangkau kemampuan-kemampuan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang
diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan
pendidikan.
e.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Parson et.al. (1994:112-113) menyatakan bahwa proses pemberdayaan
umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang
menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu
antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan.
Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan
kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun
demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas.
Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara
individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan
kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di
luar dirinya. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan
melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, mezzo,
dan makro.
1.
Asas
Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan,
konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utama nya adalah
membimbing atau melatih kliren dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task
centered aproach).
2.
Aras
Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekolompok klien. Pemberdayaan dilakukan
dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan,
dinamika kelompok biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan
kesadaran pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki
kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3.
Aras
Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system
strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih
luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying,
pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam
pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang
memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk
memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
Menurut JIM IFE (1995:63) ada tiga strategi yang diterapkan untuk
pemberdayaan masyarakat, di antaranya adalah:
1.
Perencanaan
dan kebijakan (Policy and planning)
Untuk
mengembangkan perubahan struktur dan institusi sehingga memungkinkan masyarakat
untuk mengakses berbagai sumber kehidupan untuk meningkatkan taraf
kehidupannya. Perencanaan dan kebijakan yang berpihak dapat dirancang untuk
menyediakan sumber kehidupan yang cukup bagi masyarakat untuk menyediakan
sumber kehidupan yang cukup bagi masyarakat untuk mencapai keberdayaan.
Misalnya, kebijakan membuka peluang kerja yang luas, UMR yang tinggi (poverty
dan pengangguran).
2.
Aksi
sosial dan politik (social dan political action)
Diartikan
agar sistem politik yang tertutup dapat diubah sehingga memungkinkan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam sispol. Adanya keterlibatan masyarakat secara
politik membuka peluang dalam memperoleh kondisi keberdayaan.
3.
Peningkatan
kesadaran dan pendidikan
Masyarakat
atau kelompok masyarakat tertentu seringkali tidak menyadari penindasan yang
terjadi pada dirinya. Kondisi ketertindasan diperparah dengan tidak adanya
skill untuk bertahan hidup secara ekonomi dan sosial. Untuk masalah ini peningkatan
kesadaran dan pendidikan untuk diterapkan. Contoh: memberi pemahaman kepada
masyarakat tentang bagaimana struktur-struktur penindasan terjadi, memberi
sarana dan skill agar mencapai perubahan secara efektif.
f.
Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan diatas
dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi
5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan
(Suharto,1997:218-219).
1.
Pemungkinan,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari
sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.
2.
Penguatan:
memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan
masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu
menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang
menunjang kemandirian mereka.
3.
Perlindungan:
melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas
oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang
(apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah mencegah terjadinya
eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan
pada penghapusan kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan
segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4.
Penyokongan:
memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan
tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu mendorong masyarakat agar
tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan
terpinggirkan.
5.
Pemeliharaan:
memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi
kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu
menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh
kesempatan berusaha
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah sekelumit hal yang
patut di junjung untuk meningkatkan stabilitas dan mobilitas sosial masyarakat
dan juga pertumbuhan ekonomi suatu negara, wilayah, dan juga daerah.
Pertumbuhan dan pemberdayaan masyarakat sangat ditentukan oleh skill masyarakat
itu sendiri dan juga harus di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
Dalam hal ini pemerintah sebagai tonggak birokrasi merupakan kunci
dalam pembangunan suatu masyarakat, tujuan lain pemerintah juga harus
menyediakan lapangan kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan dan juga keamanan,
untuk terciptanya suatu perubahan yang lebih baik.
Selain dari itu untuk peran pendukung seperti LSM, koperasi dan
sebagainya juga sangat menentukan arah pembaharuan yang lebih baik terutama
dalam menstabilitaskan suatu perubahan sosial masyarakat indonesia ke depan.
B.
Kritik dan Saran
Menyimak begitu panjangnya rentetan kemiskinan dan berbagai
persoalan lain yang terjadi di Indonesia seharusnya ada perhatian lebih dari
pemerintah dalam menanggapi permasalahan tersebut mesti ada teori-teori yang
lebih jitu agar tumbuh suatu perubahan sosial yang lebih dinamis dan juga
harmonis, kemiskinan adalah merupakan hal yang paling rawan mengancam
kestabilan suatu daerah, apalagi jika ada kecemburuan sosial.
Kemajuan bangsa ini ke depan khususnya dari ancaman kemiskinan,
pemerintah harus siap menyediakan infrastruktur yang lebih baik, seperti
jembatan, jalan, listrik, dan juga berbagai sarana pendukung lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
§ Suharto Edi,Ph.D.2005.Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat
Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.Bandung:PT
Refika Aditama;
- Sairin, Sjafri, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia; Yogyakarta ,Pustaka Pelajar, 2002.
- Soelaeman, M Munandar.1986. Ilmu Sosial Dasar; Bandung;PT Refika Aditama
- Kartasasmita, Ginandjar.1995.Ekonomi Rakyat: Memadukan Pertumbuhan Dan Pemerataan; Jakarta, CIDES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar