Selasa, 07 Juli 2015

Teori Pemberdayaan Masyarakat

TEORI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat lumrah dibicarakan untuk kemajuan dan perubahan bangsa saat ini dan untuk kedepan, apalagi jika dilihat dari skill masyarakat indonesia kurang baik, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri, konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development).
Pertama-tama perlu dipahami arti dan makna pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar memiliki kesehatan fisik dan mental, serta didik dan kuat inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi, sedangkan pembangunan masyarakat adalah suatu hal yang perlu manage untuk kemampuan masyarakat itu sendiri.
Memberdayakan masayarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang masih belum mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat, sehingga muncul perubahan yang lebih efektif dan efisien.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana konsep, teori, dan indikator dalam pemberdayaan masyarakat ?
2.      Apa tujuan, strategi, pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat?

C.    Tujuan Masalah
Adapun Tujuan Masalah yang di bahas dalam makalah ini yang terkait dengan rumusan masalah di atas, adalah:
1.      Untuk mengetahui konsep pemberdayaan masyarakat, teori-teori dalam pemberdayaan masyarakat, dan indikator dalam pemberdayaan masyarakat.
2.      Untuk mengetahui tujuan pemberdayaan masyarakat, strategi dalam pemberdayaan masyarakat, dan pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat.





















BAB II
PEMBAHASAN
a.      Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Sebelum kita membahas konsep konsep pemberdayaan, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu konsep pembangunan yang pada dasarnya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat yang lebih luas.
Pembangunan menurut literatur literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambunagan  dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan produktifitas sumberdaya. Dari pandangan itu lahir konsep konsep mengenai pembangunan pertumbuhan ekonomi.
Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat ditelussuri setidak tidaknya sejak abad ke-18. Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (devision of labor). Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang ada pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga menggarisbawahi pentingnya skala ekonomi. Setelah Adam Smith muncul pemikiran pemikiran yang berusaha mengkaji batas batas pertumbuhan (limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917).
Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disbut aliran klasik, Berkembang menjadi pertumbuhan ekonomi moderndengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi dua, yaitu menekankan pentingnya akumulasi modal (Physical capital formation) dan meningkatkan kualistas sumberdaya manusia (human capital).
Setelah itu muncul perkembangan model yang disebut neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan mempengaruhi pertumbuhan pemberdayaan masyarakat dalm negara ataupun wilayah (Solow, 1957).
Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain diluar modal dan tenaga kerja yang mendorong pertumbuhan ekonomi  masyarakat. Sala satu teori berpendapatbahwa investasi sumber daya manusia berpengaruh yang besar dalam meningkatkan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat mendorong melalui pendidikan dan pelatihan serta meningkatkan derajat kesehatan.
Disisi lain berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan, maka berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai pradigma pembanguna sosial yang bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadialaan, serta memberi angin segar dalam perubahan sosial yang lebih dinamis dan elegan.
Salah satu metode yang umun digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap kesejahtraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Pembagian pendapatan berdasarkan kelas-kelas pendapatan (the size distribisiont of income) dapat di ukur dengan menggunakan kurva Lorenz atau indeks Gini. Selain ditribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat di ukur dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara atau wilayah.
b.      Teoritis dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pemahaman dalam pemberdayaan masyarakat memerlukan sikap yang subjektif dalam penelitiannya, subjektifitas ini bertolak dari sikap dasar bahwa setiap penelitian tentang suatu permasalahan sosial selalu dilakukan untuk memperbaiki situasi sosial yang ada, untuk meluruskan ketimpangan yang ada dan bukan hanya melukiskan serta menerangkan kenyataan yang ada (Buchori, 1993).
Dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit Based dan Strength based. Pendekatan Deficit-based berpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh based (berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang di miliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1978; Cooperrider dkk, 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk, 2004).
Dalam metode untuk pemberdayaan masyarakat juga dapat dibangun berdasarkan beberapa aspek, antara lain:
1.      Kemampuan-kemampuan masyarakat setempat
2.      Penggunaan tekhnik-tekhnik fasilitatif dan partisifatoris
3.      Pemberdayaan masyakat desa dalam prosesnya ( khan dan Suryadanata, 1994)
Perspektif dalam Pemberdayaan Masyarakat
1.      Pluralis, persaingan dan perselisihan tidak terelakkan. Masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Kelompok atas membantu kelompok yang lain/kalah/lemah.
2.      Elit, politik semacam permainan, dimana setiap pemain memiliki kesempatan yang sama. Ada kelompok yang kalah  karena tidak memiliki kekuasaan. Proses pemberdayaan berarti menggabungkan diri ke dalam politik sehingga bisa digabungkan antara kelompok lemah dan kelompok kuat.
3.      Struktural, ketidakberuntungan masyarakat terjadi akibat struktur sosial dan politik yang berbeda-beda. Adanya ketimpangan struktur mengakibatkan perbedaan keberentungan yang satu dan lainnya. Melakukan perubahan struktur dapat memberdayakan masyarakat (pengertian pemberdayaan).

c.       Indikator dalam Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Kieffer (1981), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif (Suharto, 1997:215). Parsons et.al. (1994:106) juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada:
·         Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.
·         Sebuah keadaan psikologis yang di tandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
·         Pembahasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons et.al., 1994:106)
Untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang  itu berdaya atau tidak. Sehingga kita sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan.
Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat dapat dilihat keberdayaan mereka mengenai: kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, kemampuan kultural dan politis. Schuler, Hashemi, dan Riley mengembangkan delapan indikator pemberdayaan diantaranya:
1)      Kebebasan mobilitas
2)      Kemampuan membeli komiditas kecil
3)      Kemampuan membeli komoditas besar
4)      Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan RT
5)      Kebebasan relatif dari dominasi keluarga
6)      Kesadaran hukum dan politik
7)      Keterlibatan dalam kampanye/demonstrasi
8)      Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga (Soeharto,2006:65)

d.      Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil). Guna memahami pemahaman mengenai pemberdayaan perlu di ketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi:
1.      Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender  maupun etnis.
2.      Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.
3.      Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/ atau keluarga.
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari keumuman kerapkali dipandang sebagai deviant (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri, padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal. Menurutnya, ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif; interaksi negatif dengan lingkungan atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar (Suharto, 1997:213-214):
§  Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat.
§  Integrasi mereka dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi sosial dimana mereka berada.
§  Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau menjangkau kemampuan-kemampuan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.



e.       Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Parson et.al. (1994:112-113) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, mezzo, dan makro.
1.      Asas Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utama nya adalah membimbing atau melatih kliren dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered aproach).
2.      Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekolompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3.      Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
Menurut JIM IFE (1995:63) ada tiga strategi yang diterapkan untuk pemberdayaan masyarakat, di antaranya adalah:
1.      Perencanaan dan kebijakan (Policy and planning)
Untuk mengembangkan perubahan struktur dan institusi sehingga memungkinkan masyarakat untuk mengakses berbagai sumber kehidupan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Perencanaan dan kebijakan yang berpihak dapat dirancang untuk menyediakan sumber kehidupan yang cukup bagi masyarakat untuk menyediakan sumber kehidupan yang cukup bagi masyarakat untuk mencapai keberdayaan. Misalnya, kebijakan membuka peluang kerja yang luas, UMR yang tinggi (poverty dan pengangguran).
2.      Aksi sosial dan politik (social dan political action)
Diartikan agar sistem politik yang tertutup dapat diubah sehingga memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam sispol. Adanya keterlibatan masyarakat secara politik membuka peluang dalam memperoleh kondisi keberdayaan.
3.      Peningkatan kesadaran dan pendidikan
Masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu seringkali tidak menyadari penindasan yang terjadi pada dirinya. Kondisi ketertindasan diperparah dengan tidak adanya skill untuk bertahan hidup secara ekonomi dan sosial. Untuk masalah ini peningkatan kesadaran dan pendidikan untuk diterapkan. Contoh: memberi pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana struktur-struktur penindasan terjadi, memberi sarana dan skill agar mencapai perubahan secara efektif.

f.       Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan diatas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto,1997:218-219).
1.      Pemungkinan, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.
2.      Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka.
3.      Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4.      Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu mendorong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
5.      Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah sekelumit hal yang patut di junjung untuk meningkatkan stabilitas dan mobilitas sosial masyarakat dan juga pertumbuhan ekonomi suatu negara, wilayah, dan juga daerah. Pertumbuhan dan pemberdayaan masyarakat sangat ditentukan oleh skill masyarakat itu sendiri dan juga harus di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
Dalam hal ini pemerintah sebagai tonggak birokrasi merupakan kunci dalam pembangunan suatu masyarakat, tujuan lain pemerintah juga harus menyediakan lapangan kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan dan juga keamanan, untuk terciptanya suatu perubahan yang lebih baik.
Selain dari itu untuk peran pendukung seperti LSM, koperasi dan sebagainya juga sangat menentukan arah pembaharuan yang lebih baik terutama dalam menstabilitaskan suatu perubahan sosial masyarakat indonesia ke depan.
B.     Kritik dan Saran
Menyimak begitu panjangnya rentetan kemiskinan dan berbagai persoalan lain yang terjadi di Indonesia seharusnya ada perhatian lebih dari pemerintah dalam menanggapi permasalahan tersebut mesti ada teori-teori yang lebih jitu agar tumbuh suatu perubahan sosial yang lebih dinamis dan juga harmonis, kemiskinan adalah merupakan hal yang paling rawan mengancam kestabilan suatu daerah, apalagi jika ada kecemburuan sosial.
Kemajuan bangsa ini ke depan khususnya dari ancaman kemiskinan, pemerintah harus siap menyediakan infrastruktur yang lebih baik, seperti jembatan, jalan, listrik, dan juga berbagai sarana pendukung lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
§  Suharto Edi,Ph.D.2005.Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.Bandung:PT Refika Aditama;
  • Sairin, Sjafri, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia; Yogyakarta ,Pustaka Pelajar, 2002.
  • Soelaeman, M Munandar.1986. Ilmu Sosial Dasar; Bandung;PT Refika Aditama
  • Kartasasmita, Ginandjar.1995.Ekonomi Rakyat: Memadukan Pertumbuhan Dan Pemerataan; Jakarta, CIDES.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar