Minggu, 27 Maret 2016

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL TRADISI BEJANJAM DI DESA SUKARARA KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
TRADISI BEJANJAM DI DESA SUKARARA KECAMATAN PRAYA  KABUPATEN LOMBOK TENGAH
A.    Naluri Manusia
Sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai tradisis Bejanjam, terlebih dahulu kita ketahui bahwa manusia itu mempunyai naluri, karena manusia merupakan makhluk yang sangat unik bahkan bisa dibilang sangat spesial. Ia diciptakan sedemikian rupa dengan berbagai komponen dan potensi yang luar bias. Terkadang ia merasa takut, merasakan cinta, bahagia, sedih, dan banyak lagi perasaan-perasaan lainnya. Semua itu muncul dari naluri yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai salah satu potensi dan komponen untuk menopang kehidupannya. Naluri ini merupakan bawaan sejak lahir dan bersifat internal.
An Nabhani berdasarkan penelitiannya terkait perilaku manusia membagi naluri secara umum menjadi tiga jenis[1], yaitu:
1.      Naluri Mempertahankan diri (Gharizatul Baqa’)
2.      Naluri mempertahankan jenis (Gharizatun Nau’)
3.      Naluri Beragama (Gharizatut Tadayyun)
Ketiga naluri ini bisa dibilang merupakan pokok dan sumber dari semua perilaku dan sikap yang ditunjukkan manusia dalam kehidupannya. Begitu pula dengan rasa sedih akibat ditinggal oleh orang yang dikasihi. Perasaan ini, menurut An Nabhani merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Dengan kata lain kesedihan dan perasaan duka terutama ketika ditinggal mati oleh orang yang dikasihi merupakan hal yang lumrah bagi manusia. Karena ia lahir dan muncul dari sebuah potensi yang telah menjadi bagian internal dari manusia itu sendiri.
Sepanjang sejarah kita temukan banyak sekali tradisi dan ritual yang dilakukan manusia ketika menghadapi peristiwa kematian. Ritual dan tradisi itu bahkan sudah ada sejak pertama kali manusia menjalani kehidupan mereka di bumi. Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an tentang awal mula penguburan jasad manusia.

Artinya:
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini ?" Karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (QS. Al-Maidah: 31)
Sampai sekarangpun berbaga tradisi dan ritual tersebut masih ada dan dilakukan di seluru dunia dengan berbagai ragam dan jenisnya. Masing-masing agama juga memiliki ritual yang mereka laksanakan ketika salah seorang dari penganut mereka meninggal. Mulai dari membacakan Do’a dan lain sebagaianya.
Salah satu dari tradisi yang ada kaitannya dengan kematian tersebut juga terdapat di Lombok, tradisi tersebut dinamakan tradisi bejanjam.
B.     Latar Belakang Tradisi Bejanjam
Tradisi bejanjam merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh suku sasak yang bermukim di wilayah Lombok Tengah dan Lombok Selatan. Salah satunya adalah warga masyarakat di Desa Sukarara kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah. Bejanjam sendiri dalam bahasa indonesia berarti meratap. Sehingga secara singkat tradisi bejanjam ini adalah tradisi yang dilakukan saat ada salah seorang sanak keluarga yang meninggal.[2]
Kaum wanita dari keluarga dekat almarhum atau almarhumah yang biasanya melakukan ritual bejanjam. Hal ini dikarenakan para wanita memang lebih perasa dan lebih emosional ketimbang laki-laki. Sehingga mereka lebih mudah mengungkapkan kesedihan dan rasa duka mereka dalam bentuk kata-kata secara spontan.
Selain yang ada di desa Sukarara, Praya, tradisi bejanjam rupanya terdapat juga di wilayah Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat. Walaupun tata cara dan pengertiannya berbeda dengan tradisi bejanjam yang ada di desa Sukarara namun tradisi ini masih ada kaitannya dengan kematian. Dimana tradisi bejanjam yang dilakukan di wilayah Batu Layar ini dilakukan ketika berziarah ke makam Batu Layar, salah satu makam yang dikeramatkan oleh warga setempat.
Warga setempat meyakini bahwa makam Batu Layar adalah makam tempat disemayamkannya salah seorang keturunan Rasulullah saw. Beliau adalah seorang tokoh penyebar Islam berkebangsaan Baghdad yang bernama Sayyid Duhri Al Haddad Al Hadrami. Ada juga yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Syaikh Sayyid Muhammad Al Baghdad.
C.    Pelaksanaan Bejanjam
Biasanya bejanjam ini dilakukan oleh kaum wanita dari keluarga dekat orang yang meninggal. Bejanjam sendiri merupakan syair ratapan yang disenandungkan secara spontan dengan nada mengharukan yang berisi ungkapan kesedihan dan duka cita karena ditinggal mati oleh salah satu anggota keluarga. Tidak hanya itu bejanjam juga berisi pernyataan atas segala kebaikan almarhum atau almarhumah semasa hidup.
Mereka akan berhenti melakukan bejanjam ketika semua perasaaa duka dan kesedihan mereka telah diluapkan atau ketika kiai telah datang untuk memulai prosesi pengurusan jenazah.Mulai dari memandikan,menyolatkan,hingga menguburkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya isi dari bejanjam yang dilakukan oleh kaum wanita adalah ungkapan duka atas meninggalnya almarhum serta menyebut-nyebut kebaikannya semasa hidup. Namun terkadang kaum wanita yang tidak bisa mengontrol kesedihannya melakukan bejanjam dengan menyisipkan kata-kata yang agak berlebihan di dalam syair ratapannya. Saat itu sanak kerabat atau kiai yang mendengar akan mengingatkan mereka.
Bejanjam ini juga tidak selalu dilakukan setiap kali ada orang yang meninggal. Hal itu tergantung pada hubungan emosional antara yang meninggal dengan orang lain. Jika orang-orang yang ada di sekitar yang meninggal tidak memiliki hubungan emosional dengan orang di sekitarnya maka bejanjam tidak akan dilakukan.
Tradisi bejanjam juga melahirkan kebiasaan baru yang disebut betandak. Betandak dalam bahasa indonesia artinya bersyair. Betandak ini bisa dikatakan lebih bebas waktu pelaksanaannya ketimbang bejanjam. Isinya pun berbeda dengan bejanjam. Tergantung dari kondisi dan suasana hati orang yang hendak betandak. Namun orang-orang sasakbiasanya betandak ketika mereka memiliki perasaan istimewa untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seperti saat hendak mengunjungi kekasihnya sehingga syair yang mereka ungkapkan ketika betandak berisi ungkapan rasa rindu, cinta atau gugup karena akan bertemu dengan sang kekasih. Syair yang diungkapkan saat betandak juga bisa berisi ungkapan rasa syukur dan bahagia ketika tengah memanen padi. Tak jarang pula mereka betandak ketika tengah dirundung duka. Berikut adalah salah satu syair sasak yang biasa dilantunkan ketika betandak:
Aduh anakku mas mirah
Buak ate kembang mate
Mulen tulen kubantelin
Sintung jari salon angin
Berembe bae side nune jangkem ngeni
Kembang mate kelepangne isik angin
Laguk temak side nune
Bau yak bedait malik
Namun perkembangan tradisi bejanjam ini perlahan mulai memudar seiring dengan perkembangan Islam modern. Hal itu disebabkan para kiai atau tokoh agama yang datang kemudian melarang untuk meratapi jenazah. Akan tetapi tradisi ini masih bisa kita temukan dilakukan oleh para sesepuh dan orang-orang tua di beberapa daerah pelosok seperti di kampung Bunrantok di Sukarara.
Pelaksanaan tradisi bejanjam yang ada di Batu Layar berbeda dengan yang ada di Desa sukarara, dimana pelaksanaanya dilakukan dengan cara: Sebelum berziarah, para pengunjung dihimbau untuk terlebih dahulu mengambil air dari sebuah tempat bernama Lingkuk Mas. Lingkuk Mas sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia artinya Sumur Mas. Air yang mereka ambil dari Lingkuk Mas ini nantinya akan digunakan untuk ritual tradisi bejanjam.
Tradisi Bejanjam ini sendiri adalah membasuh wajah anak-anak dengan harapan kelak mereka menjadi anak yang saleh. Dan biasanya air yang digunakan untuk membasuh tersebut didapat dari Lingkuk Mas.
D.    Kearifan Lokal Tradisi Bejanjam
Pada dasarnya tradisi bejanjam memiliki nilai-nilai positif di balik pelaksanaannya. Diantaranya adalah kandungan nilai moral dan sosial. Hal ini bisa kita lihat dari  syair bejanjam yang diisi dengan menyebut-nyebut kebaikan orang yang sudah meninggal sekaligus mempererat hubungan emosional antar warga dalam suasana duka.

Kesimpulan
Memudarnya tradisi bejanjam ini merupakan akibat dari larangan para kiai dan tokoh agama yang datang kemudian. Mereka berdalih bahwa meratapi dan menangisi mayat atau jenazah merupakan sesuatu yang dilarang secara mutlak. Sehingga perlahan orang-orang mulai meninggalkan kebiasaan ini, kecuali beberapa orang tua dan sesepuh di desa dan wilayah-wilayah tertentu.
Padahal jika diperhatikan tradisi bejanjam ini pada mulanya tidak dilarang oleh para kiai dan tokoh agama pada masa itu sehingga tetap dilakukan sampai muncul larangan. Beberapa faktor yang membuat mereka membolehkan hal tersebut dikarenakan di dalam bejanjam  kaum wanita hanya mengungkapkan perasaan duka mereka dan tidak mengatakan segala sesuatu yang bisa membuat Allah swt murka atau terhitung sebagai perbuatan dosa. Bahkan mereka menyebutkan segala kebaikan yang pernah dilakukan oleh si almarhum atau almarhumah. Tidak hanya itu tangisan yang mereka lakukan pun bukan tangisan yang dibuat-buat melainkan buah dari perasaan duka mereka karena ditinggal mati oleh orang yang dikasihi. Jadi hal tersebut sangat alami dan lumrah dilakukan oleh manusia.
Berdasarkan keterangan yang didapat juga, para kiai dan tokoh agama terdahulu tersebut membolehkan berlangsungnya tradisi ini karena di dalam Al Qur’an terdapat ayat yang membolehkan untuk menangisi atau meratapi seseorang. Hal itu termaktub di dalam surah Yusuf ayat 84 dan 86:
Artinya:
Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: "Demi Allah, Senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau Termasuk orang-orang yang binasa".
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (Qs. Yusuf: 84-86)
Mereka juga menyatakan bahwa setiap kata yang diungkapkan oleh kaum wanita ketika bejanjam  hanya berisi ungkapan duka mereka saja, tidak lebih. Dan sangat jarang sekali mereka menyisipkan kata-kata atau kalimat yang seakan menampakkan ketidakrelaan mereka terhadap keputusan atau takdir Allah swt atas meninggalnya keluarga mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, Yadi. 2011. Psikologi Kepribadian. Bandung: PT Refika Aditama. Cet ke-2.
Hasil wawancara dengan beberapa warga di Desa Sukarara Kecamatan Praya Lombok Tengah.





[1] Yadi Purwanto, Psikologi Kepribadian, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hal. 100
[2] Wawancara dengan beberapa orang warga asli di Desa Sukarara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar